Jakarta, Aktual.com — Tantangan perbankan, terutama bank-bank kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I, seperti PT Bank Ina Perdana Tbk (BINA) untuk menurunkan suku bunga kredit single digit sangat berat.

Pasalnya, selain permodalan yang masih belum terlalu besar, juga dari sisi cost of fund atau biaya dana masih tinggi. Apalagi untuk suku deposito juga tidak mungkin serendah mungkin.

“Dana deposito bagi bank BUKU I seperti kami ini sangat diandalkan. Sehinga jika suku bunga rendah, misal sebesar 5 persen, apakah itu masih menarik bagi deposan?” tegas Direktur Utama BINA, Edy Kuntardjo, di Jakarta, Kamis (12/5).

Apalagi memang, kata dia, jika suku bunga deposito seperti itu, maka seberapa besar pemerintah mampu menekan laju inflasi. Jangan sampai inflasi lebih tinggi dari suku bunga deposito.

“Jadi kalau pemerintah mau menekan suku bunga kredit dan simpanan mau single digit, maka stabilitas inflasi harus diperhatikan. Ini peran pemerintah dan Bank Indonesia (BI),” cetusnya.

Saat ini, kata dia, suku bunga deposito BINA berada di level 8 persen dengan posisi margin bunga bersih (NIM) pada akhir 2015 di angka 4,26 persen dari akhir tahun sebelumnya yang mencapai 4,71 persen.

Dengan kondisi seperti itu, makanya suku bunga kredit itu masih double digit. Bahkan ia meminta suku bunga kredit itu mestinya disesuaikan dengan mekanisme pasar.

“Iya lebih baik, suku bunga kredit ikut mekanisme pasar saja, kalau bisa turun ya akan turun, bunga single digit juga jangan seluruh kredit. Paling mungkin di korporasi atau KPR saja,” jelas dia.

Dia memberi contoh, jika suku bunga kredit itu mencapai paling tinggi 9,5 persen, maka biaya dana memang harus bisa ditekan serendah mungkin. Sehingga, kredit-kredit sektor mikro, infrastruktur, dan ritel, yang penyumbang NPL tinggi susah untuk single digit.

“Sehingga jika dipaksakan (suku bunga kredit single digit), NIM kami bisa sangat kecil, 1-2 persen. Atau bahkan NIM-nya bisa negatif,” pungkas Esy.

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan