Hadir sebagai panelis Veryanto Sitohang, Komisioner Komnas Perempuan yang memaparkan fakta-fakta terkait kekerasan terhadap perempuan:

• Dalam kurun waktu 12 tahun, kekerasan terhadap perempuan meningkat sebanyak 792% (hampir 800% atau 8x lipat). Dalam kurun waktu 10 tahun (2010-2019), jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.775.042 kasus. Artinya 760 kasus per hari atau 31 kasus per jam. Sepanjang 2011-2020, tercatat kekerasan seksual di ranah privat dan komunitas 49.643 kasus. Fenomena kekerasan adalah seperti gunung es dimana jumlah yang sebenarnya dapat lebih besar dari yang dilaporkan. Dapat diartikan juga bahwa dalam situasi yang sebenarnya, kondisi perempuan Indonesia jauh mengalami kehidupan yang tidak aman;

• Kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi meningkat, dimana berdasarkan CATAHU 2021, pengaduan melalui Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan meningkat, menjadi 2.389 kasus, dengan catatan 2.341 kasus berbasis gender. Dari Januari hingga Oktober 2021, tercatat kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi sebanyak 4.711 kasus.

Selain itu, terdapat data tambahan:

• Dalam data pengaduan langsung ke Komnas Perempuan, tercatat kenaikan yang cukup signifikan yakni pengaduan kasus cybercrime 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik sebanyak 300%. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban;

Dalam desakan kepada media untuk mengubah narasi pemberitaan yang lebih berperspetif korban, Veryanto menyampaikan, “Untuk mendukung penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, peran media menjadi sangat strategis. Kehadiran media dalam  pencegahan kekerasan terhadap perempuan akan berkontribusi dalam mendekatkan hak korban atas keadilan, perlindungan dan pemulihan, khususnya melalui pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.”

Lola Amaria, Produser Film dan Figur Publik menyatakan, “Kita semua memiliki peran, di luar kekuatan media yang sangat signifikan. Dimulai dari diri sendiri, apa yang dapat dilakukan, kemudian dengan kelompok kecil dan di tempat kerja. Contohnya dalam pembuatan film, setiap kru dan artis yang bekerjasama dengan saya harus menyetujui kontrak kerja dimana terdapat pasal yang melindungi hak-hak perlindungan perempuan, termasuk sanksi jika terjadi pelanggaran.”

Devi Asmarani, Co-founder dan Editor-in-chief Magdelene.co menggarisbawahi dalam diskusi, “Pemberitaan yang baik dan akurat dapat membantu menjadi katalis untuk perubahan yang positif yang membantu mengakhiri manifestasi dari sistem patriarki termasuk budaya perkosaan. Masih banyak pekerjaan rumah untuk memperbaiki kinerja media dalam hal ini.”

Dalam acara tersebut, Cresti Fitriana, National Project Officer Communication and Information, UNESCO Jakarta mempresentasikan informasi dan sumber bagi jurnalis dan media profesional dari publikasi “Pelaporan Kekerasan pada Perempuan: Panduan untuk Jurnalis” yang mencakup standar bagi jurnalis dalam peliputan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Sekalipun pemberitaan tentang kekerasan berbasis gender telah cukup banyak dan bahkan meningkat terutama sejak pandemi Covid-19, namun hal yang masih kurang diulas adalah keterkaitan antara kekerasan terhadap perempuan dengan seksisme dan ketidaksetaraan gender yang mana kedua hal ini menjadi akar masalah masih terjadinya terhadap perempuan.” Lanjutnya, “Itulah mengapa tajuk pembahasan diskusi ini adalah “Ubah Narasi”, dimana media sebagai potret dari kondisi sosial masyarakat mempunyai power yang sangat besar untuk menjangkau, mengedukasi dan membentuk opini yang diharapkan dapat mengubah perspektif akan kekerasan terhadap perempuan.” tutup Bonaria.

Artikel ini ditulis oleh:

Zaenal Arifin