Baghdad, Aktual.com – Warga Irak ungkapkan kekecewaan mendalam atas hancurnya negara dia pascainvasi pasukan Amerika Serikat dan Inggris.

Warga bernama Um Ibrahim itu menuturkan, setelah peperangan yang terus terjadi setelah kedatangan pasukan AS dan Inggris, kehidupan keluarganya dan rakyat Irak lainnya berubah total penuh dengan penderitaan.

Dia mengaku kehilangan suami dan anak-anaknya dalam kekacauan yang terjadi. Sedangkan di saat yang sama, pejabat AS dan Inggris hanya menyatakan penyesalan sudah menyerbu Irak dan menyebut sebagai sebuah kekeliruan.

“Bagaimana dengan kehidupan keluarga saya, yang berubah jadi penderitaan akibat perang?” ucap perempuan berusia 50 tahun itu, seperti dilansir dari Xinhua-OANA, Senin (11/7).

Bersama dua putri dan seorang cucu usia 7 tahun, Um Ibrahim harus berjuang untuk tetap hidup. Dia kehilangan suami dalam sebuah pertempuran antara tentara AS dan gerilyawan Irak 11 tahun lalu di Baghdad.

Penderitaannya semakin bertambah. Di akhir 2006, giliran dua putranya yang harus pergi meninggalkan dirinya selama-selamanya saat diculik anggota milisi untuk kemudian ditembak mati. Kematian warga sipil seringkali terjadi setelah 2006 di negeri 1001 malam, setelah serbuan pimpinan AS menghancurkan sistem politik dan menyulut pergolakan antar-golongan.

Pada 2006, sekelompok pria bersenjata membom tempat suci Askari, salah satu tempat paling suci buat umat Syiah di Kota Samarra, 120 kilometer di sebelah utara Baghdad. Peristiwa itu menyulut gelombang kerusuhan sektarian di seluruh Irak, termasuk di ibu kotanya.

Keluarga Um Ibrahim dipaksa meninggalkan rumah mereka, dan bergabung dengan sebanyak 300 keluarga Sunni, yang juga dipaksa menyelamatkan diri dari permukiman yang didominasi kaum Syiah di Hurriyah.

Lebih dari 100 orang menemui ajal saat itu dan lima tempat ibadah dibakar selama kerusuhan lima-bulan di permukiman tersebut.

“Keluarga saya dan saya dulu hidup dalam kedamaian di sana. Saya tak pernah menyangka bahwa suatu hari mereka akan membunuh putra saya. Mereka sebelumnya berteman,” kata Um Ibrahim di satu kios kecil sayuran di pasar di permukiman yang kebanyakan warganya pemeluk Sunni, Ghazaliyah, di sebelah barat Baghdad.

“Kami sering hidup dalam kesulitan sebelum serbuan, terutama akibat embargo atas rejim Saddam, tapi hidup dalam kedamaian dan kebahagian dan saya ingat suamia saya dan saya memiliki harapan dan impian mengenai bagaimana putra-putri kami akan tumbuh dewasa dan bagaimana masa depan mereka,” kata perempuan itu.

“Tapi semuanya telah hilang. Sekarang kami kelaparan, kehilangan tempat tinggal dan merindukan keselamatan,” katanya.

“Mereka membunuh dua putra saya sebab mereka menolak untuk meninggalkan permukiman itu. Saya memohon agar mereka pergi, saya memohon kepada mereka,” kata Um Ibrahim. Ia menyeka mukanya dengan menggunakan sapu-tangan sementara air mata mengalir di kedua pipinya.

Serbuan ke Irak pada 2003 oleh AS, Inggris dan negara lain koalisi adalah bencana buat sebagian besar warga Irak. Menurut data Pemerintah Irak, ratusan ribu warga sipil kehilangan nyawa dalam konflik setelah serbuan 2003, sedangkan perhitungan tak resmi memperkirakan jumlah korban jiwa akibat aksi militer dan pergolakan antar-kelompok mencapai lebih dari satu juta.

Perang Irak juga membuat 3,4 juta orang kehilangan tempat tinggal di dalam negeri itu dan lebih dari dua juta orang di luar negeri di negara dengan lebih dari 34 juta warga tersebut. (Antara)

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara