Kiri-kanan ; Juru Bicara Kedai Kopi Hendri Satrio, Ketua Walhi DKI Jakarta Mustaqim Dahlan, Budayawan Betawi Ridwan Saidi, Ketua Presidium ProDEM (Pergerakan Aktivis Untuk Reformasi dan Demokrasi) Andrianto saat diskusi publik di Jakarta, Senin (3/10/2016). Diskusi yang diselenggarakan ProDEM (Pergerakan Aktivis Untuk Reformasi dan Demokrasi) yang bertemakan Pilkada Jakarta : Dalam Cengkeraman Kartel Reklamasi.

Jakarta, Aktual.com – Pertemuan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto di Jalan Teuku Umar 27, Jakarta Pusat, Minggu (20/11) kemarin, membahas dinamuka politik nasional. Salah satunya adalah situasi politik jelang Pilkada DKI Jakarta 2017.

Baik Mega maupun Novanto menyadari bersama bahwa Pilkada DKI merupakan barometer politik nasional sebab DKI adalah Ibukota Negara Republik Indonesia.

Menurut pengamat politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, partai-partai pendukung calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebenarnya sudah mengingatkan agar Gubernur DKI nonaktif tersebut puasa bicara.

Akan tetapi, dalam kenyataannya Ahok justru terus melempar pernyataan yang kontraproduktif sehingga melukai orang lain. Dalam hal ini umat Islam yang mendorong kasus dugaan penistaan agama diusut tuntas dan Ahok dipenjarakan.

“Pertemuan Mega – Novanto ini menyangkut soliditas pengusung Ahok. Bu Mega itu kan intuisi politiknya kuat. Penurunan elektabilitas Ahok ini perlu diatur strateginya (baru) yang jitu,” terang Hendri saat dihubungi Aktual.com, Senin (21/11).

Sebenarnya, kata Hendri, Ahok sudah mulai menyadari dengan mengurangi untuk bicara. Penolakan Ahok dalam kampanye misalnya kemudian disikapi oleh Tim Pemenangan dengan membagi peran antara Ahok dengan Djarot Saiful Hidayat.

“Strategi saat ini sebenarnya pas, Ahok pasif dan lebih menerima kedatangan pendukung, Djarot yang kerja dilapangan,” jelasnya.

Mega sebagaimana dinilai publik, meminta Ahok agar lebih irit bicara termasuk setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penistaan agama. Sayangnya, Ahok menurut Hendri tidak sepenuhnya patuh.

Disinggung bagaimana ucapan Ahok yang menganalogikan dirinya dengan Nelson Mandela, pernyataan memang satu putaran setelah ditetapkan sebagai tersangka hingga pernyataan adanya fitnah terhadap dirinya.

Pernyataan demi pernyataan itu disampaikan setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.

“Ahok musti hati-hati, saat ini pemilih Jakarta masih emosional belum rasional. Kalau ini terus digosok, Ahok lemah juga. Ahok ini dibandingkan Mega kan baru anak kemarin sore, menurut saya nurut saja,” urainya.

“Megawati ini jika dibandingkan dengan Setya Novanto, Surya Paloh, Wiranto, paling banyak pengalamannya, sudah makan asam garam, masukannya harus diikuti, didengerin,” sambung Hendri.{Soemitro}

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid