Jelang Kongres PDI Perjuangan (PDI-P) yang akan dilangsungkan di Bali pada 9 April hingga 11 April 2015 wacana soal regenerasi kepemimpinan dalam tubuh partai berlambang moncong putih berhembus kencang. Bahkan salah satu lembaga survey nasional merilis hasil survey yang cukup mencengangkan, dimana Megawati tidak lagi-lagi direkomendasikan memipin partai itu, begitu juga dengan trah Sukarno lainnya, seperti Prananda Prabowo dan Puan Maharani.
Menariknya, nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang merupakan kader banteng menduduki ranking tertinggi yang dianggap potensial memimpin partai ini lima tahun ke depan. Pertanyaanya, siapkah PDI-P bila tanpa trah Sukarno?
Namun apapun dan dari mana asalnya wacana itu, yang jelas PDI-P hari ini tentu masih membutuhkan trah Sukarno untuk lima tahun mendatang, yang artinya PDI-P lima tahun mendatang harus tetap di bawah komando Megawati Sukarno Putri, tidak bisa tidak.
Banyak faktor tentunya, mengapa Megawati harus tetap menjadi nahkoda kapal besar bernama PDI-P, ini tentu tidak lain karena Megawati selaku trah Sukarno merupakan figur yang mampu merekatkan dan mempersatukan seluruh elemen di dalam tubuh PDI-P. Tanpa Megawati, niscaya kegaduhan dalam tubuh PDI-P tidak bisa dihindari.
Apalagi kita tau bersama bahwa PDI-P bukanlah partai yang diisi oleh satu warna saja, banyak warna dalam tubuh partai ini, mengingat partai ini merupakan penggabungan dari beragam partai.
Megawati sebagai pemimpin partai juga dirasa memiliki kematangan dan kemampuan yang mumpuni dalam memimpin partai ini selama puluhan tahun. Bayangkan sebagai seorang ketua partai, ia telah melewati pasang surut serta gejolak yang menimpa partainya. Pernah menjadikan PDI-P menjadi pemenang pada tahun 1999 dan kalah dalam dua kali pemilu yakni 2004 dan 2009, Megawati terbukti mampu menempatkan partainya kembali menjadi pemenang pemilu pada 2014. Dan yang tak kalah penting, Megawati bersama partainya mampu mendudukan kadernya menjadi seorang Presiden.
Memang betul, kemenangan Jokowi sebagai Presiden tidak bisa serta merta diklaim buah kerja partai, karena memang banyak orang terlibat di dalamnya selama masa pemilihan. Tapi yang tentu mesti dicatat adalah, bahwa seorang Jokowi bukanlah politisi yang tiba-tiba muncul. Ada suatu proses yang dilalui Jokowi hingga ia bisa menjadi Presiden sekarang ini. Dalam proses itu, sudah barang pasti Megawati terlibat.
Dimulai dari Wali Kota Solo, jika bukan Megawati selaku ketua umum yang memberikan mandat kepada Jokowi untuk maju dalam Pilkada Solo mungkin Jokowi tidak pernah tercatat namanya dalam sejarah bangsa ini. Paling kentara tentunya pada saat Pilkada
DKI Jakarta, bagaimana Megawati keukeuh merekomendasikan Jokowi untuk maju dalam Pilkada DKI. Padahal saat itu Fauzi Bowo selaku incumbent sudah mengajukan lamaran kepada PDI-P. Bayangkan, andai saja Megawati merupakan pemimpin yang picik tentunya Megawati lebih memilih untuk mendorong Fauzi Bowo dengan beragam pertimbanganya, mulai dari posisinya yang merupakan incumbent serta sumber daya yang tidak terbatas.
Namun yang terjadi tidak demikian, Megawati tetap mengambil Jokowi untuk ditarungkan. Kita tentu tidak bisa membayangkan, seandainya saat itu Jokowi tidak berada dalam tubuh PDI-P, mungkin saja Jokowi tidak akan pernah dicalonkan. Ambil contoh Ahok, oleh partainya saat itu yakni partai Golkar, Ahok tidak dimajukan.
Hingga akhirnya Ahok memilih menggunakan Gerindra sebagai tunganganya. Fakta ini tentunya jelas sekali menunjukan kualitas seoarang Megawati sebagai seorang ketua partai.
Belum lagi bila kita bicara pemilihan Presiden 2014 silam, lagi-lagi Megawati menunjukan dirinya menununjukan karakter kepemimpinannya yang kuat dengan merelakan haknya kepada Jokowi sebagai calon Presiden.
Padahal dengan kewenangan yang begitu luas, ia bisa saja mencalonkan dirinya sendiri. Tapi sekali lagi, Mega tidak melakukan itu. Megawati dengan bijaksana mengikuti kehendak masyarakat luas yang menginginkan Jokowi.
Memang banyak orang menanggap hal itu dilakukan Megawati semata-mata karena Megawati tak cukup punya daya tawar di mata publik bila diusung sebagai calon.
Namun rasanya argumentasi tersebut lemah, sebabnya Megawati sebagai politisi tidak pernah merasa takut dengan kekalahan. Itu dibuktikan dengan pertempuran politik yang ia lewati sepanjang karirnya, dari mulai kalah melawan Gusdur hingga SBY. Kenapa kemudian Megawati harus maju lagi menjadi ketua umum, ini tentunya berkaitan dengan perolehan suara partai pada pertarungan politik yang akan datang.
Tanpa trah Sukarno sangat sulit membayangkan apakah para simpatisan PDI-P, mereka yang selama ini menjadi penyumbang terbesar suara partai masih mau memilih PDI-P di bilik suara. Mereka orang-orang yang memilih PDI-P tanpa rasionalitas lain selain karena rasa cintanya ke Bung Karno, sekali lagi karena Bung Karno.
Mereka tidak memilih berdasarkan idelogi. Seandainya mereka memilih atas dasar ideologi tentunya partai-partai lain sempalan dari PDI-P sampai saat ini macam PNBK atau PDP harusnya bisa ikut eksis dalam kancah politik negeri, layaknya partai-partai sempalan dari Golkar seperti Gerindra, Hanura dan Nasdem.
Tanpa pengikut-pengikut setia Sukarno itu, apakah mungkin PDI-P akan tetap menjadi partai dengan suara yang signifikan. Bahkan Megawati dalam sebuah acara di televisi pernah berkata bahwa pengikut Sukarno masih eksis sampai hari ini dan menyatakan maukah mereka jika PDI-P tidak dipimpin oleh trah Sukarno.
Efek ini tentu harus diukur betul oleh elit-elit partai dalam pengambilan keputusan kelak pada Kongres PDI-P di Bali nanti. Partai harus sadar bahwa penyumbang suara tetap PDI-P adalah para pengikut Sukarno. Adapun penyumbang suara yang lainnya, hanyalah pelengkap saja yang ikut menggenapi. Penyumbang suara jenis ini juga tidak selamanya memberikan suaranya setiap pemilu, mereka bebas lari kemana saja tergantung arah angin. Tahun 2004 adalah bukti sahih, bagaimana PDI-P kemudian ditinggal oleh pemilik suara jenis demikian.
Itu pula yang dialami oleh Demokrat pada tahun 2014 silam, sehingga suara partainya turun drastis. Dan bila kemudian titik temunya tentang regenerasi dalam tubuh partai, tentunya PDI-P hari ini diakui atau tidak menjadi satu-satunya partai yang siklus regenerasinya berjalan dengan baik. Dengan munculnya kader-kader muda mereka mengisi pos-pos penting, dari mulai kepala daerah, anggota legislatif bahkan Presiden. Artinya apa, anggapan mandeknya regenerasi dalam tubuh PDI-P praktis terbantahkan.
Adapun Megawati sampai saat ini tetap memimpin partai, hal ini dilandasi beragam faktor seperti yang disebutkan diawal. Dan hal semacam ini dalam politik tentu bukanlah praktik politik menyimpang, bahkan di luar negeri banyak partai yang serupa PDI-P dengan tetap mengandalkan figur pemersatu sebagai ketua umum partai, Partai Kongres India contohnya.
Sekarang kembali lagi kepada elit-elit PDI-P, apakah regenerasi dalam hal ini pergantian ketua umum di luar trah Sukarno menjadi agenda penting yang harus dimenangkan dalam Kongres. Jika ia, siapkah PDI-P menanggung segala konskewnsi logis dari regenerasi tersebut, yang kemungkinan dampaknya akan sangat luas.
Namun jika elit partai tidak siap akan segala kemungkinan tersebut, maka tidak ada salahnya jika Megawati sekali lagi memimpin PDI-P lima tahun mendatang.
Oleh : Ivan Faizal Affandi, Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam 45 Bekasi/Mantan Ketua Umum HMI MPO Cabang Bekasi periode 2011-2012
Artikel ini ditulis oleh: