Meikarta, Gentrifikasi dan Marjinalisasi
Fenomena “urban sprawl” dibarengi dengan “gentrifikasi”. Istilah terakhir ini melukiskan peralihan lahan dari kampung kumuh (pedesaan) menjadi kompleks perkotaan mewah. “Gentrifikasi” mengusir penduduk desa dan meminggirkan mereka makin marjinal.
Perluasan “urban sprawl” hingga Karawang, Sukabumi, Bandung dan Purwakarta juga akan melahap lahan-lahan pertanian produktif. Ini akan mempersulit pemerintah dalam memenuhi swasembada pangan. Yang lebih parah: menghancurkan sektor pertanian makin menjadi-jadi.
Tiap orang membutuhkan air bersih. Puluhan juta akan membutuhkan pasokan air bersih secara fantastis. Tapi, “urban sprawl” akan merusak daerah hulu sungai-sungai besar Ciliwung, Citarum dan Citandui. Ini akan mengurangi resapan air, memperkecil pasokan air bersih, pada saat yang sama memperbanyak air limpahan berupa banjir.
Bencana Lingkungan dan Sosial
“Urban sprawl” metropolitan Jakarta akan menjadi bencana lingkungan yang dahsyat di masa depan. Tak hanya menyangkut kelangkaan air, tapi juga problem sampah dan polusi baik darat, laut/sungai maupun udara.
“Urban sprawl” juga mempertajam ketimpangan ekonomi dan sosial, baik di dalam metropolitan sendiri maupun antara metropolitan dengan daerah selebihnya. Ini akan memicu sentimen sosial kian parah dengan konsekuensi tak terbayangkan di masa depan.
Lebih dari segalanya, pembangunan kota-kota baru oleh pengembang swasta seperti Meikarta jelas akan mengurangi kendali pemerintah terhadap ruang dan kemaslahatan publik. Rakyat menjadi sekadar konsumen, kehilangan haknya warga kota dan negara.
Lupakan janji Nawacita “membangun Indonesia dari pinggiran“. Pemerintahan Jokowi, disadari atau tidak, sedang membangun Jakarta kian besar dan gemerlap, namun menyembunyikan problem sangat serius di masa depan.
Ditulis Oleh: Farid Gaban
Sumber: Meikarta dan Metropolitan yang Sakit
Artikel ini ditulis oleh:
Eka