Jakarta, Aktual.com – Bola karet itu semakin besar, tersesak oleh udara yang masuk ke dalamnya. Kemudian terbang tinggi, lalu meletus. Naiknya suhu dan tekanan, tak pelak menyebabkan volume meningkat melampaui elastisitas dan meledak.
Ada yang bilang, fisika dan ekonomi adalah teman. Kejadian balon yang pecah saat menjulang ke langit, setidaknya bisa menjadi analogi bagaimana fenomena gelembung ekonomi atau “economic bubble” terjadi di negara adidaya 12 tahun silam.
Sebagai penyumbang sepertiga Produk Domestik Bruto (PDB) dunia saat itu, merosotnya perekonomian Amerika Serikat (AS) berkembang menjadi krisis keuangan global. Krisis keuangan yang ditengarai berawal dari krisis kredit perumahan di Negeri Paman Sam.
Terkuaknya ketidakmampuan BNP Paribas pada Agustus 2007 untuk mencairkan investasi sejenis reksa dana yang terkait dengan kredit perumahan berisiko tinggi atau “subprime mortgage” di AS, menjadi mula krisis likuiditas yang merembet ke seluruh dunia.
Istilah subprime mortgage diberikan untuk kredit perumahan yang diberikan kepada debitur dengan sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Di AS, setiap warganya memiliki peringkat atau rating. Untuk yang memenuhi syarat (prime) mendapatkan kredit, rating-nya di atas 600. Sedangkan di bawah angka itu, dianggap kurang memenuhi syarat (subprime).
Mengutip laporan “Outlook Ekonomi Indonesia 2009-2014” yang dirilis oleh Bank Indonesia, pada 2005 penyaluran subprime mortgage di AS sendiri melonjak mencapai 500 miliar dolar AS dari 200 miliar dolar AS pada 2002.
Kredit macet
Banyaknya lembaga keuangan pemberi kredit properti di AS yang menyalurkan kredit kepada masyarakat yang secara finansial tidak layak memperoleh kredit, akhirnya menimbulkan masalah. Kredit macet pun terjadi dan berdampak pada bangkrutnya beberapa lembaga keuangan di AS, salah satunya Lehman Brothers, bank investasi terbesar keempat di AS yang sudah berusia 158 tahun.
Lembaga pembiayaan sektor properti biasanya meminjam dana jangka pendek dari pihak lain yang umumnya adalah lembaga keuangan, dengan jaminan surat utang atau “subprime mortgage securities” yang dijual kepada lembaga-lembaga investasi dan investor di berbagai negara. Sayangnya, surat utang tersebut tidak ditopang oleh jaminan debitur yang memiliki kemampuan membayar kredit perumahan yang baik.
Subprime mortgage yang dikemas dalam bentuk sekuritas lain dan diperdagangkan di pasar finansial global itu lah sejatinya yang menyebabkan kerugian yang lebih besar dibandingkan subprime mortgage itu sendiri.
Awalnya, sekuritisasi dilakukan terhadap beberapa subprime mortgage menjadi produk sekuritas yang dinamakan Mortgaged-Backed Securities (MBS). Praktik tersebut lazim dalam era sistem keuangan modern. Pada 2006, jumlah kredit perumahan di AS yang telah disekuritisasi menjadi MBS hampir menyentuh 60 persen dari seluruh posisi utang (outstanding) kredit perumahan.
Adapun dalam prosesnya, sekuritisasi melibatkan pihak ketiga baik institusi pemerintah maupun swasta seperti Fannie Mae dan Freddie Mac, dua perusahaan penting bagi pasar kredit perumahan serta hipotek AS karena menguasai separuh dari 12 triliun dolar AS tunggakan kredit perumahan di AS. Pihak ketiga ini acap kali melakukan pengemasan dengan menggabungkan sejumlah mortgage lalu dijual kepada investor, sekaligus bertindak sebagai penjamin untuk menanggulangi risiko gagal bayar.
Ternyata, praktik sekuritisasi mortgage terus berlanjut. MBS disekuritisasi lagi menjadi jenis sekuritas yang dikenal sebagai Collateralised Debt Obligations (CDOs). Persentase jumlah MBS yang diresekuritisasi menjadi CDOs itu terus naik seiring dengan jumlah MBS yang terus bertambah. Total penerbitan CDOs pada 2006 telah melebihi 500 milar dolar AS dimana separuhnya didominasi oleh CDOs yang bersumber dari MBS, padahal pada 2004 total penerbitan CDOs global baru mencapai 150 miliar dolar AS.
Di samping CDOs, MBS juga diresekuritisasi dalam beberapa bentuk sekuritas lain yang semakin susah dilacak bentuk maupun jumlahnya, misalnya sekuritas Structured Investment Vehicles (SIV). Perdagangan CDOs di pasar global juga semakin ramai seiring hasil rating yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemeringkat internasional, yang cenderung “underpricing” terhadap risiko dari produk-produk derivatif tersebut.
Kendati demikian, perubahan arah kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve menjadi lebih ketat pada medio 2004, mengakibatkan tren peningkatan suku bunga mulai terjadi dan terus berlangsung hingga 2006. Kondisi yang akhirnya memukul pasar perumahan AS, yang diindikasikan dengan banyaknya debitur yang gagal bayar bersamaan dengan jatuhnya harga rumah di AS. Para investor maupun lembaga yang terlibat dalam penjaminan pun terseret ke dalam persoalan likuiditas yang sangat besar.
Memengaruhi likuiditas
Situasi yang dihadapi lembaga-lembaga keuangan besar di AS memengaruhi likuiditas lembaga keuangan yang lain baik yang berada di AS maupun di luar AS, terutama lembaga yang menginvestasikan uangnya melalui instrumen lembaga keuangan besar di AS. Titik inilah yang dinilai sebagai awal krisis keuangan global.
Ekonom penerima Nobel Ekonomi Paul Krugman menilai, krisis yang dihadapi AS pada 2008 terlihat seperti kombinasi krisis pada 1990 dan 2001. Pada 1990, terjadi resesi yang dikenal dengan nama resesi Perang Teluk dimana selama delapan bulan ekonomi AS negatif akibat
The Fed yang menurunkan bunga secara bertahap untuk menekan laju inflasi. Sedangkan pada 2001, terjadi resesi di AS akibat gelembung dot-com, yaitu gelembung spekulasi karena peningkatan pesat dalam penilaian ekuitas saham teknologi AS yang dipicu oleh investasi di perusahaan berbasis internet selama pasar dalam tren menguat atau “bullish” di akhir 1990-an.
“Krisis 2008 ini mungkin lebih besar dari gabungan kedua krisis tadi. Anda mengalami gangguan keuangan, yang mungkin lebih besar dari krisis simpan pinjam. Dan Anda kehilangan kekayaan dari kehancuran sektor perumahan, yang lebih besar dari kehancuran dot-com. Jadi ini terlihat cukup buruk,” ujar Krugman.
Krugman pun saat itu memprediksi bahwa resesi akan berakhir delapan bulan sebagaimana resesi terakhir yang dialami AS, namun lapangan pekerjaan baru akan benar-benar pulih setelah 30 bulan setelah resesi atau sekitar pertengahan 2010. Pada 2008, PDB AS tercatat negatif 0,1 persen dan pada 2009 minus 2,5 persen. Namun pada 2010, ekonomi AS telah kembali tumbuh 2,6 persen, sebagaimana ramalan Krugman.
Dari domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2008 sendiri masih cukup baik yaitu mencapai 6,1 persen, hampir sama dengan pertumbuhan tahun sebelumnya 6,3 persen. Dampak yang ditimbulkan oleh krisis keuangan global terhadap perekonomian Indonesia mulai dirasakan pada triwulan IV 2008 yang hanya tumbuh 5,2 persen.
Sampai triwulan III 2008, perekonomian Indonesia tumbuh tinggi karena masih tingginya pertumbuhan ekspor yang melonjak seiring dengan kenaikan harga komoditas tambang dan pertanian global serta ditopang oleh pertumbuhan ekonomi China dan India yang relatif masih kuat. Hal itu mendorong peningkatan daya beli terutama di wilayah penghasil ekspor dan menopang tingginya pertumbuhan konsumsi dan investasi. Pertumbuhan impor pun juga melonjak, baik untuk memenuhi kebutuhan bahan baku maupun barang modal.
Pertumbuhan di dalam negeri berangsur melemah sejak awal semester II 2008 akibat perlambatan ekonomi dunia yang semakin dalam dan anjloknya harga komoditas global, yang mendorong merosotnya pertumbuhan ekspor. Konsumsi rumah tangga, investasi dan impor pun bersamaan juga tumbuh melambat.
Meluasnya imbas permasalahan sektor perumahan di AS dan upaya penyelamatan yang dilakukan oleh pemerintah AS dan bank sentral terhadap beberapa lembaga pembiayaan, masih direspon secara negatif oleh pasar sehingga menimbulkan intensitas gejolak yang semakin tinggi di pasar keuangan global. Ketidakstabilan di pasar keuangan tersebut memicu sentimen negatif yang menyurutkan “risk appetite” investor sehingga memunculkan tren perubahan komposisi portofolio global. Selain tingginya faktor ketidakpastian, ketatnya likuiditas semakin memperberat upaya peningkatan ekspor dan mendorong penarikan investasi asing dari pasar berkembang, termasuk dari Indonesia.
Kinerja memburuk
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) memburuk terutama mulai semester II 2008. Secara tahunan, NPI mencatat defisit 2,2 miliar dolar AS dengan posisi cadangan devisa pada akhir 2008 mencapai sebesar 51,6 miliar dolar AS, setara dengan 4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pada semester I 2008 kinerja NPI relatif solid, tercermin dari cadangan devisa dan surplus masing-masing mencapai 59,4 miliar dolar AS dan 2,35 miliar dolar AS.
Dampak krisis global juga tampak pada perkembangan nilai tukar rupiah yang ditandai oleh tekanan depresiasi yang tinggi dan volatilitas yang meningkat, terutama sejak Oktober 2008. Selama semester I 2008, surplus neraca transaksi berjalan dan respons kebijakan ekonomi makro yang prudent mampu meredam tekanan yang ditimbulkan oleh gejolak eksternal. Namun sejak triwulan III 2008, imbas krisis pasar keuangan global semakin kuat seiring dengan jatuhnya berbagai lembaga keuangan besar di AS.
Semakin meningkatnya risiko secara global, memicu pelepasan investasi portofolio asing di pasar keuangan domestik. Di sisi lain, neraca transaksi berjalan mulai tertekan akibat jatuhnya harga komoditas dan merosotnya kegiatan ekonomi mitra dagang. Perkembangan tersebut menyebabkan rupiah tertekan hingga sempat mencapai Rp12.150 per dolar AS di November 2008 diiringi melonjaknya volatilitas yang mencapai 4,67 persen. Secararata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,4 persen dari Rp9.140 pada 2007 menjadi Rp9.666 pada 2008.
Pada 2009, perekonomian global yang masih terkontraksi tidak dapat dihindari memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia, utamanya ekspor yang mencatat pertumbuhan negatif . Perlambatan ekonomi domestik akibat kontraksi ekspor tersebut, serta suku bunga perbankan yang masih tinggi, pada gilirannya berkontribusi pada melambatnya pertumbuhan investasi. Kinerja ekspor dan investasi yang turun, ekonomi Indonesia pada tahun itu pun banyak ditopang oleh kegiatan konsumsi domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah.
Peran konsumsi secara keseluruhan masih mampu menopang kegiatan ekonomi Indonesia pada 2009 untuk tetap tumbuh positif sebesar 4,5 persen. Meskipun lebih rendah dibandingkan dengan 2008, pertumbuhan ekonomi pada 2009 masih lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan awal tahun 2009 sebesar 4 persen dan lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara lain yang sebagian besar mencatat kontraksi.
Setahun setelahnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia membaik seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi global yang mendorong naiknya volume perdagangan internasional serta memicu kenaikan harga-harga komoditas yang berdampak pada tingginya pertumbuhan ekspor Indonesia. Pada 2010, ekspor menjadi penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kinerja ekspor yang meningkat tinggi mampu mempertahankan surplus transaksi berjalan. Di sisi transaksi modal dan finansial, pemulihan ekonomi global yang disertai derasnya aliran modal masuk menyebabkan surplus neraca modal yang besar dalam NPI.
Perkembangan kondisi makroekonomi yang membaik itu membawa perkembangan positif bagi pasar modal Indonesia dimana arga saham meningkat cukup tinggi hingga menjadikan Bursa Efek Indonesia (BEI) sebagai bursa terbaik di negara-negara kawasan. Sedangkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) terus mengalami penurunan yang signifikan sejak 2009. Derasnya arus modal masuk pun membuat nilai tukar rupiah menguat cukup signifikan dan likuiditas di pasar uang jangka pendek meningkat.
Dari domestik, meningkatnya keyakinan konsumen dan daya beli masyarakat menjadi faktor utama cukup tingginya pertumbuhan konsumsi pada 2010. Situasi itu kemudian direspon oleh peningkatan pertumbuhan investasi seiring dengan membaiknya tendensi bisnis dan permintaan ekspor yang tinggi. Berbagai perkembangan itu membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali meningkat ke level 6,1 persen. (Antara)
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin