Jakarta, Aktual.com – Kinerja lembaga Kejaksaan Agung pada tahun ini menjadi sorotan sejumlah pengamat. Banyaknya kasus mangkrak dan adanya dugaan “obral” surat penghentian penyidikan perkara (SP3) menjadi penyebabnya.
Beberapa posisi yang disorot adalah Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Direktur Penyidikan hingga Kasubdit Penyidik.
“Jika Prasetyo benar-benar ingin berkontribusi dan menaikkan citra kejaksaan, harus ‘cuci gudang’ jajaran di Gedung Bundar. Copot Jampidsus hingga Kasubdit penyidiknya. Karena kerja mereka belum optimal dalam setahun ini,” kata Fajar di Jakarta, Selasa (11/12).
Fajar menambahkan kinerja penyidik dalam mengungkap tindak pidana korupsi di Indonesia pun belum sepenuhnya berjalan efektif.
Pasalnya, tindak pidana korupsi yang berhasil diungkap oleh penyidik kejaksaan setiap tahunnya baru mencapai 1.284,3 kasus. Angka tersebut masih di bawah target yang ditetapkan yaitu 1.457 kasus per tahun.
Ia pun sangat menyayangkan kinerja Direktur Penyidikan Warih Sardono yang justru menjadi macan ompong usai kembali ke korps Adhyaksa, setelah sempat “merantau” ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal, banyak kasus korupsi yang seharusnya bisa diberantas dan diseret ke meja hijau, bukan malah di-SP3.
Kasus yang mangkrak pun sebenarnya merupakan tunggakan yang harus diselesaikan Jampidsus Adi Toegarisman. Seperti kasus Chevron, Indosat, PLN, Bank Permata, Kondesat TPPI yang notabene merupakan pekerjaan rumah Adi sewaktu menjabat Direktur Penyidikan.
Kinerja buruk jajaran pidsus ini juga diperburuk kehadiran Kasubdit Sugeng Riyanta. Kata Fajar, jaksa yang sempat berlabel ‘terbaik’ ini pernah diisukan laporan pemerasan yang kandas di internal, ditambah banyak kasus yang disidik Sugeng berakhir dengan SP3.
“Contoh SP3 kasus dugaan korupsi pembangunan ruang terbuka hijau di Riau. Kasus ini pernah dipegang Sugeng tapi ketika ganti penyidik, kasus dihentikan karena tidak cukup bukti. Artinya, analisa Sugeng dalam menangani perkara korupsi tumpul dan patut dipertanyakan,” ujarnya.
Melempemnya kinerja Jampidsus pun diamini Indonesia Coruption Watch (ICW) yang menemukan tren penindakan korupsi yang rendah di Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal tersebut disampaikan Divisi Investigasi ICW, Wana Alamsyah, dalam pemaparan hasil kajian ICW tentang Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester Pertama yang dilakukan 1 Januari 2018 hingga 30 Juni 2018.
Wana mengatakan dari total 139 kasus korupsi di semester 1 tahun 2018, penindakan oleh Kejaksaan Agung mengalami penurunan. “Tren yang terjadi di Kejaksaan ini cukup signifikan menurunnya. Karena dari 135 kasus korupsi yang ditangani di semester pertama 2017, di semester pertama 2018 hanya 68 kasus. Dengan kerugian negara Rp 678 miliar dan nilai suap Rp 32 juta,” kata dia.
Capaian kinerja itu, kata Wana, Kejaksaan belum bekerja secara maksimal. Apalagi kejaksaan memiliki sekira 520 kantor di seluruh wilayah Kabupaten dan Kota di satu provinsi. Adapun anggaran dana yang digelontorkan juga cukup besar.
“Sekitar Rp 200 juta per kasus. Pertanyaannya adalah, jika ada 68 kasus yang ditangani kejaksaan per semester ini, lalu berapa sisa anggaran yang didapatkan oleh kejaksaan dan itu larinya kemana? Karenanya kami menduga ada yang tidak memberlakukan penindakan,” katanya.
Sementara Pakar hukum pidana Universitas Trisakti (Usakti) Abdul Fickar Hadjar menilai, ketidakprofesionalan penyidik Jampidus kejaksaan dibawah kepemimpinan Prasetyo bisa dilihat dari jumlah kekalahan dalam gugatan praperadilan.
Dirinya pun menilai, sejumlah kekalahan kejaksaan dalam gugatan praperadilan itu tidak terlepas dari kepemimpinan Jaksa Agung Prasetyo.
“Kalau dari sudut kalahnya, bisa dilihat sebagai bagian dari ketidaksungguhan dan ketidakprofesionalannya,” ujar Abdul Fickar.
Karena menurut dia, sangat mungkin sejumlah perkara yang kalah dalam praperadilan itu karena alat bukti yang dikantongi kejaksaan tidak kuat.
“Tentu saja ini ada kaitan dengan kualitas tampuk kepemimpinannya bukan?,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan