Idul Fitri (‘Ied al-fithri) bisa bermakna dua. Makna bahasa yaitu hari raya makan, dan makna syariat yaitu kembali kepada fitrah ( كل مولود يولد على الفطرة artinya setiap yang lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah). Makna kedua inilah yang sering dianggap ideal dan populer di masyarakat.

Padahal realitanya makna pertama lebih relevan. Karena pada hari idul fitri, siapapun akan turut serta menyajikan dan menikmati hidangan, terlepas dari apakah dia berusaha kembali kepada fitrahnya sebagai hamba Allah atau tidak. Adapun makna kedua hanyalah milik mereka yang menjalani Ramadhan dengan îmânan wa ihtisâban. 

Lain lagi dengan makna lebaran. Konon istilah ini berasal dari para Sunan (wali songo). Ada makna Lebaran yang berarti sudah dan selesai menggembleng diri dan mengendalikan diri melalui puasa. Leburan bermakna meluluhkan segala kesalahan dengan saling memaafkan dan membangun silaturahmi baru yang lebih baik dengan sesama ciptaan. Sementara Luberan berarti meluapkan rezeki dengan membagikan zakat bagi warga masyarakat yang kekurangan. Dan terakhir laburan yang dimaknai sebagai membangun lembaran baru yang lebih bersih dan lebih ‘putih’.

Melihat dari makna idealnya, baik ‘Ied Al-Fithri maupun lebaran, sama-sama tidak terkait dengan euforia, pesta-pesta, ramai-ramai, baju baru, dan nyala kembang api. Tetapi bagaimana kita memulai kembali hubungan kita yang baik, dekat, juga romantis kepada Allah SWT, dan meng-indah-kan hubungan kita kepada sesama manusia. Inilah poinnya.

Maka, berapa banyak dari kita yang merayakan hari raya makan tapi tidak mendapatkan kembalinya diri kepada fitrah? Berapa banyak pula dari kita yang gembira ber-lebaran tetapi tidak mampu menggembleng diri saat Ramadhan?

كم من صائم ليس له من صيامه إلاالجوع والعطش

(Berapa banyak yang berpuasa tetapi tidak mendapat apa-apa dari puasanya kecuali haus dan lapar)

Nyaris seumur hidup kita mungkin selalu merayakan Idul fitri dalam keramaian pernak-pernik lebaran dari masjid, pasar hingga stasiun, bandara dan pelabuhan. Baru tahun ini, kita merayakan lebaran dalam suasana yang relatif sunyi. Mungkin Allah SWT hendak memperlihatkan, apakah selama ini Idul fitri sudah sampai pada subtansinya atau hanya sekedar terbawa dalam euforia lebaran? Bukankah sebuah kata-kata bijak mengatakan :

ليس العيد لمن لبي الجديد، ولكن العيد لمن طاعته يزيد

(Hari raya itu bukanlah yang baru bajunya, tetapi hari raya adalah yang bertambah ketaatannya)

Tahun ini mungkin pertama kalinya kita berlebaran tanpa keramaian sholat ‘Idul Fitri dan mudik yang dibatasi, Namun sekiranya hal itu mesti dilakukan demi mencapai mashlahat yang lebih besar, yakni memutus rantai pandemi covid-19. Mestinya ini tidak sama sekali mengurangi subtansi Idul Fitri kita, sebab doa dan lantunan takbir tak pernah terbatas waktu dan jarak.

Idul Fitri selayaknya bermakna semakin romantisnya hubungan kita dengan Allah SWT. Sebab Dialah yang tak pernah luput. Dalam kesunyian, Allah SWT semakin nyata.

Mukhrij Sidqy
Dewan Pengawas Syariah Laz Ar-Raudhah

Artikel ini ditulis oleh:

A. Hilmi