Jakarta, Aktual.com — Banyak definisi dan perspektif soal makna dan pengertian miskin dan kaya.

Miskin dan kaya, hampir sebagian besar pengertiannya selalu dikaitkan dengan ukuran-ukuran atau indikator material. Dalam tinjauan ilmu ekonomi misalnya, orang disebut miskin atau kaya lebih sering disandarkan dengan atribut pendapatan per hari.
Ada perbedaan antara si miskin dan si kaya.

Miskin dan kaya dalam skala global menggolongkan negara miskin, berkembang dan negara kaya (maju). Ukuran-ukurannya pun juga disandarkan pada atribut-atribut material seperti pendapatan per kapita, tingkat pengangguran, tingkat buta huruf sampai ukuran tingkat kematian.
Ada perbedaan antara negara miskin dan negara kaya.

Yang menarik lagi, ketika bicara soal miskin dan kaya dalam beberapa pendekatan teori politik dan sosiologi. Dalam pendekatan pertentangan kelas misalnya, perbedaan antara kaum miskin dan kaum borjuis (kaya) faktor penting terjadinya perubahan. Kalau dilihat dari pendekatan akarpandang Survival of the Fittest, maka si miskin (yang lemah) hampir selalu diidentikkan sebagai korban dari yang kaya (yang kuat).
Ada perbedaan antara golongan miskin dan kaya.

Miskin dan kaya, dalam balut teori globalisasi jadi masalah sangat serius. Dan sangat dominan dalam perdebatan pro dan kontra. Atas nama pengelompokan global negara miskin, atau terjajah dan atau termarjinalkan akibat ketidakadilan sistem ekonomi global maka terjadilah perselisihan serius dengan negara-negara yang dikelompokan dalam negara kaya atau maju. Bahkan sudah menjurus ke peperangan global baru.
Perbedaan antara miskin dan kaya dalam beberapa hal menjadi faktor penting dalam menyumbang kehancuran pondasi-pondasi tegaknya akar kemanusiaan dalam sebuah peradaban.

Meninjauulang makna miskin

Kalau kita kembali melihat teks suci kitab agama besar dunia saat ini, hampir sebagian besar tidak pernah ada yang mempertentangkan bahkan membedakan antara miskin dan kaya. Miskin dan kaya itu adalah sebuah keniscayaan (sunnatulloh, dalam islam) dan faktor teramat penting yang membentuk sebuah peradaban yang mulia.

Sama seperti keniscayaan (sunnatulloh) lelaki dan perempuan. Perbedaan antara keduanya lah yang mendorong terciptanya sebuah komunitas harmoni kecil: keluarga. Berkumpulnya komunitas harmoni keluarga inilah yang akan menopang dan menegakkan sebuah peradaban.

Begitu pula dengan miskin dan kaya. Perbedaan antara keduanya harusnya mendorong terciptanya sebuah ‘harmoni keluarga’ baru yang mampu menegakkan sebuah peradaban. Bukan sebaliknya, miskin dan kaya dipaksa terus menerus untuk selalu bercerai, selalu jalan sendiri-sendiri atau bahkan saling sikut dan berselisih.

Akibat terus menerus memahami miskin dan kaya adalah sebuah perbedaan maka alam bawah sadar kita selalu mengatakan miskin dan kaya adalah sebuah perselisihan bahkan lebih jauh: pertengkaran atau peperangan. Dan salah satu akibatnya (sangat fatal menurut saya) munculnya prinsip baru: “Salah satu keberhasilan pembangunan adalah angka kemiskinan turun”.

Perlu dipikirkan kembali bagaimana memaknai kembali filsafat gotong royong yang sampai sekarang hanya sering jadi ucap saja.

Karena sesungguhnya gotong royong adalah jembatan emas yang menghubungkan antara miskin dan kaya agar bisa menjadi sebuah “keluarga” yang harmonis.

 

Faizal Rizki Arief