Jakarta, aktual.com – Survey dari Nagara Institute dalam Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 ada 99 kasus Dinasti Politik. Pilkada 2018 Jatim menjadi jawara dengan 14 Daerah di Jawa Timur terpapar langsung Politik Dinasti pada pemilihan kepala daerah di Jawa Timur.
Mulai dari ayah, ibu, anak, hingga menantu terlibat dalam dinasti politik. Politik Dinasti ini akan melahirkan oligarki di Indonesia, dan tidak adanya aturan yang membatasi hingga berapa kali keluarga langsung dari pejabat sebelumnya bisa menjabat dalam posisi legislatif ataupun eksekutif pada periode berikutnya, maka lingkaran kekuasaan akan dikuasai oleh satu kelompok tertentu.
Jabatan eksekutif seperti Kepala Daerah dan Presiden telah dibatasi sebanyak dua kali, namun setelah dua kali menjabat sebagai Kepala Daerah, anak, istri maupun kerabat dekat dari Kepala Daerah tersebut masih bisa ikut berkompetisi dalam pemilihan langsung. Dan hal inilah yang banyak menimbulkan fenomena di daerah, dengan munculnya kepemimpinan di tingkat daerah yang diteruskan dari keluarga tertentu, dan inilah cikal bakal lahirnya Oligarki dalam Politik. Kepemimpinan publik yang diteruskan kepada keluarga tertentu.
Menurut hukum yang berlaku ini legal, dan tidak aturan yang melarang dalam sistem pemilihan langsung yang kita anut saat ini untuk melarang anak, istri ataupun saudara kandung untuk ikut berkompetisi dalam suatu pemilihan Kepala Daerah maupun pemilihan legislatif ketika salah satu anggota keluarga dekat yang masih berstatus pejabat definitif ataupun berstatus mantan pejabat definitif. Yang lebih lucunya lagi adalah walaupun berbeda partai antara saudara kandung, suami istri maupun anak hal ini sah diperaturan pemilu kita.
**
Politik Dinasti akan melahirkan Oligarki dalam Politik, dan Oligarki merupakan pintu awal Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN). Lihat saja kasus deretan pasangan suami istri yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari 10 tahun terakhir, dan terbaru yang menghebohkan kasus Bupati Probolinggo dan Bupati Kolaka Timur, dan masih banyak contoh kasus lainnya lagi yang mengharuskan pasangan suami istri harus berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK).
Kasus Korupsi yang menimpa Bupati Kuantan Singingi Andi Putra juga mendapat sorotan luas dari publik baru – baru ini. Andi Putra sosok Bupati muda yang memenangi Pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Kuantan Singingi, dan baru saja dilantik sebagai Bupati periode 2021 – 2024 pada hari Rabu (2/6/2021). Andi Putra adalah anak dari mantan Bupati Kuantan Singingi dua Periode Sukarmis. Sukarmis saat ini juga masih menjabat sebagai Anggota DPRD Provinsi Riau Periode 2019 – 2024.
Selain itu Politik Dinasti juga sering menghadirkan Pejabat Daerah setingkat Eselon 3 dan Eselon 2 berasal dari kerabat dekat penguasa saat itu, inilah cikal bakal lahirnya Kolusi dan Nepotisme. Walaupun proses pemilihan dilakukan secara terbuka untuk Eselon 2 tidak menutup kecurigaan publik tentang adanya unsur kedekatan terhadap proses pemilihan pejabat publik didaerah.
Satu kesalahan akan merusak seluruh kebaikan yang telah dilakukan, bisa dibayangkan jika kepemimpinan di suatu daerah telah dipimpin selama dua periode oleh Sang Ayah sebagai “Kepala Daerah”, Kepala Daerah ini berprestasi dan banyak hal positif dan pembangunan yang telah dilakukan. Karena desakan dari para pendukungnya Sang Ayah “Kepala Daerah” berprestasi tersebut mendukung Sang Anak untuk ikut Pilkada, dan berhasil meraih kemenangan. Namun naas bagi Sang Anak harus terjerat kasus korupsi. Dan alhasil dua periode kepemimpinan Sang Ayah yang berprestasi rusak, tidak ada satupun yang bisa dibanggakan. Inilah contoh kasus yang menimpa Bupati Kuantan Singingi Andi Putra.
Kekuasaan yang dihasilkan dari Politik Dinasti itu seperti candu yang nikmat sekali, semakin lama berkuasa maka akan semakin kuat godaannya. Lingkaran dipusaran kekuasaan akan seperti lingkaran setan. Pemimpin yang terlalu lama berkuasa akan terbuai oleh kekuasaannya, dan tak jarang diperburuk dengan kelakuan para pendukung lingkaran kekuasaan tersebut yang hanya memberikan puja – puji saja. Laporan yang diberikan bawahan kepada atasan akan selalu dilaporkan baik, karena bawahan ataupun para pendukung Politik Dinasti ini juga ingin mempertahankan posisi yang telah diraih. Hal ini akan berdampak langsung kepada “Mandatoris Rakyat” yang tidak bisa lagi merespon secara cepat atas apa yang menjadi keinginan dari masyarakat sebenarnya.
***
Politik Dinasti perlu dibatasi aturan mainnya, karena terkait langsung dengan urusan publik secara luas, Walaupun fakta yang ada telah membuktikan bahwa Politik Dinasti di ruang publik melahirkan oligarki dan tentunya cikal bakal muncul Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Akan tetapi sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap wajar akan adanya Politik Dinasti ini, hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena Politik Dinasti yang terjadi belakangan ini.
Membatasi Poltik Dinasti bisa dimulai dari Partai Politik. Partai Politik Indonesia saat ini tidak lepas dari Politik Dinasti, prahara yang menimpa Partai Demokrat merupakan imbas dari proses terpilihnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menjadi Pemimpin selanjutnya dari Partai Demokrat. Terjadi penolakan dari dalam tubuh partai Demokrat sendiri terhadap proses pemilihan AHY, banyak kekhawatir akan terjadi Politik Dinasti dan menciptakan oligarki politik.
Partai lainnya juga tidak lepas dari nuansa Politik Dinasti ini, hamper semua Partai tidak pernah memunculkan wajah baru dalam kepemimpinan Partainya. Ketua umum nya selalu sama walaupun entah berapa kali sudah kita menjalani Pemilu di Indonesia.
Hal selanjutnya yang tak kalah penting untuk dilakukan adalah membatasi jumlah periode jabatan kepala daerah yang dapat diteruskan oleh kerabat dekat, seperti suami, istri, anak maupun saudara kandung. Maksudnya setelah kerabat dekat yang telah menjabat sebanyak dua periode, maka kerabat dekat dari mantan kepala daerah tersebut tidak diperbolehkan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di periode berikutnya, harus diberikan jeda untuk bisa ikut Kembali minimal satu periode setelahnya.
Profil Singkat Penulis
Dodi Iswanto adalah Sekretaris Jenderal PTIC Seorang Aktivis Sosial dan Peneliti.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain