Kontroversi Pada pertengahan Agustus 2014 atau dua pekan sebelum masa jabatan anggota dewan periode 2009-2014 berakhir, DPRD Tulungagung akhirnya memutuskan menunda pembahasan rancangan peraturan daerah (ranperda) minuman keras, dengan alasan menunggu perkembangan rancangan Undang-undang antiminuman beralkohol yang saat ini tengah digodok DPR RI.
Keputusan itu secara aklamasi diambil oleh tujuh fraksi DPRD, dan disampaikan melalui sidang paripurna dewan yang dihadiri Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo, Wakil Bupati Maryoto Bhirowo, serta seluruh jajaran satuan kerja perangkat daerah (SKPD) setempat di gedung DPRD Tulungagung.
Saat itu, dari tujuh ranperda yang diajukan pemerintah daerah, hanya enam di antaranya yang disetujui sementara satu ranperda tentang pengendalian dan pengawasan minuman beralkohol ditunda dengan alasan menunggu penyusunan aturan perundangan yang lebih tinggi.
“Karena keputusan hari ini sepakat ditunda, pembahasan ranperda tentang minuman beralkohol dengan demikian kami serahkan ke anggota DPRD periode selanjutnya,” ujar Ketua DPRD Tulungagung, Supriono di akhir sidang paripurna.
Enam ranperda yang disetujui sebagai payung hukum pelaksanaan kebijakan pemerintahan daerah di Tulungagung antara lain ranperda organisasi dan perangkat daerah; perubahan BPBD; perubahan kependudukan dan catatan sipil; perubahan peraturan daerah tentang penyertaan modal di PDAM, tentang pemotongan pohon dan pemindahan taman; serta ranperda tentang pelayanan pasar.
Gayung pun bersambut. Penundaan pembahasan ranperda minuman beralkohol oleh DPRD Tulungagung rupanya justru mendapat apresiasi positif dari kalangan ormas Islam yang akhir-akhir ini gencar menolak revisi perda minuman keras tahun 2011.
“Ini langkah bagus agar tidak sampai ada distorsi antara perda minuman beralkohol yang berlaku di daerah dengan Undang-undang antiminuman keras yang kini tengah dibahas di DPR RI,” kata politisi PKNU Tulungagung, Chamim Badruzzaman.
Reaksi positif itu tak lepas dari gerakan penolakan revisi perda minuman keras/beralkohol yang dirasa tidak sejalan dengan konsep antiminuman keras yang mereka anut.
Sepekan sebelum diputuskan penundaan tersebut, belasan ormas Islam di daerah ini telah mengeluarkan petisi penolakan rancangan peraturan daerah tentang peredaran dan penjualan minuman keras oleh DPRD setempat.
Pernyataan sikap bersama itu diambil secara bulat oleh seluruh perwakilan ormas yang hadir dalam rapat konsolidasi di gedung MUI Tulungagung pada Rabu (6/8/2014).
Mereka menilai, rancangan revisi perda minuman keras yang kini tengah dibahas DPRD bertolak belakang dengan semangat perda minuman beralkohol yang telah ditetapkan sebelumnya pada pertengahan 2011.
“Rancangan yang dibuat pansus II DPRD di Malang, 11 Juli lalu justru memberi ruang bagi siapapun untuk menjual minuman beralkohol. Asal memiliki ruang untuk berjualan berukuran tertentu, dan terutama mengantongi izin bupati,” tukas Koordinator Lembaga Antiminuman Keras dan Narkoba (LAMN) Tulungagung, Nyadin.
Selain dihadiri tokoh-tokoh MUI, sejumlah pimpinan ormas Islam seperti Pengurus Daerah Muhammadyah, PCNU, GP Ansor, Pemuda Muhammadyah, LSM AMPTA, LAMN, hingga Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) Tulungagung tampak hadir dalam forum tersebut.
“Sesuai keputusan ketua Pansus II DPRD pada 17 Juli yang ‘memending’ (menunda) pembahasan ranperda minuman beralkohol. Kami atas nama seluruh ormas Islam se-Tulungagung mendesak dewan agar penundaan itu tetap dilanjutkan hingga batas waktu yang tidak ditentukan,” kata Ketua MUI Tulungagung, KH Hadi Muhammad Mahfudz atau biasa disapa Gus Hadi usai rapat konsolidasi.
Belum efektif Pemerintah Kabupaten Tulungagung sebenarnya telah memiliki Perda Nomor 4 tahun 2011 yang mengatur pengendalian peredaran minuman beralokohol di daerah tersebut.
Namun, sejak ditetapkan pada akhir 2011 semasa pemerintahan Bupati Heru Tjahjono, perda ini belum pernah diterapkan secara efektif akibat pro-kontra keterlibatan LSM atau pihak non-birokrasi dalam prosedur pemberian izin edar/distribusi maupun perdagangan.
Bupati Tulungagung, Syahri Mulyo mengatakan, saat ini tim pelaksana masih membahas aturan main serta persyaratan bagi pedagang ataupun pengusaha yang ingin menjadi agensi resmi minuman beralkohol, sebagaimana ketentuan yang diatur dalam perda Nomor 4/2011.
“Masalah itu masih menjadi perdebatan sehingga secara keseluruhan perda miras tersebut belum bisa direalisasikan,” jawab Syahri Mulyo menanggapi maraknya peredaran dan penjualan minuman keras secara ilegal.
Bupati Syahri saat itu tidak merinci kendala teknis maupun administrasi dimaksud, namun belakangan dia mengakui “deadlock” (buntu) dipicu oleh klausul dalam surat keputusan Bupati Tulungagung yang dikeluarkan kepala daerah sebelumnya, pada 23 Januari 2013.
Dalam SK Nomor 188.45/53/013/2013 tersebut, papar Syahri, terdapat klausul yang menyebut LSM dan ormas terkait juga melakukan pengawasan perizinan, impor, standar mutu peredaran, penjualan minuman beralkohol golongan A,B, dan C.
“Ketika ini melibatkan LSM dan ormas, kami yakin pasti izin tidak akan pernah bisa dikeluarkan,” ujarnya.
Syahri mengeluh, dirinya mendapat warisan masalah akibat SK bupati sebelumnya yang menurutnya terjadi sejumlah “kekeliruan”.
Ketika ia bersikeras mengatakan redaksi SK bupati Nomor 188.45/53/013/2013 tersebut perlu direvisi, Syahri mengatakan dirinya sudah dicap sebagai bupati yang prominuman keras/beralkohol.
“Poin masalahnya ada di tingkat perizinan yang masih terjadi kontroversi. Saya ikuti ini jelas menyalahi prosedur dan kewenangan eksekutif, tidak diikuti nanti saya pasti dicap bupati promiras (minuman keras),” keluhnya.
Bupati Syahri berharap, pihak LSM dan ormas yang selama ini getol menyuarakan gerakan antiminuman keras untuk lebih realistis dalam mengkompromikan perbedaan persepsi mengenai siapa saja yang memiliki kewenangan mengeluarkan izin peredaran minuman beralkohol di Tulungagung.
“Biarkan izin itu menjadi kewenangan eksekutif. Baru kemudian tim terpadu yang terdiri dari LSM dan ormas bisa melakukan fungsi pengawasan bersama pemerintah daerah setelah ada beberapa produk yang memiliki izin distribusi atau penjualan, apakah melanggar aturan atau tidak, beredarnya dimana, produk minuman alkoholnya palsu atau tidak,” urainya memberi wacana solusi.
Syahri mengatakan masalah tersebut telah disampaikan dalam forum Sarasehan Kamtibmas bersama seluruh jajaran Forum Pimpinan Daerah (Forpimda) setempat beserta puluhan perwakilan ormas, LSM dan tokoh masyarakat serta camat se-Tulungagung pada awal Oktober lalu.
“Secara nonformal, sekretaris MUI sudah sampaikan bahwa beberapa poin dalam SK Bupati sebelumnya yang dianggap menjadi penyebab mandul tersebut untuk didiskusikan dan dibenahi lagi,” tukasnya.
Terkait pro dan kontra tersebut, pihak DPRD Tulungagung memilih lepas tangan.
Beragamnya pandangan para wakil rakyat dalam menyikapi perda nomor 4/2011 menyebabkan setiap diskusi mengenai masalah ini selalu alot.
Pihak legislatif secara kelembagaan pada akhirnya memilih abstain menyikapi persoalan tersebut karena menganggap teknis pelaksanaan perda menjadi domain pemerintah daerah atau eksekutif.
“Kami sebenarnya berharap perda miras ini sudah bisa diberlakukan secara efektif, namun kayaknya perbup-nya memang belum selesai untuk pelaksanaan,” kata Supriyono.
“Persoalan pelaksanaannya sudah maksimal atau belum itu kan (domain) pelaksana teknis. Jadi nanti pak bupati menugaskan satpol pp dan jajarannya untuk menindaklanjuti,” lanjut dia.
Syahri Mulyo sendiri dalam keterangannya tidak memastikan kapan kendala di tingkatan tim pelaksana tersebut bisa diselesaikan. Ia menyampaikan, penertiban jaringan distribusi minuman keras ilegal dilakukan dengan mengacu aturan lama yang sudah ada serta aturan hukum yang lebih tinggi.
“Karena perdanya belum efektif, maka selama peredaran (minuman keras) tidak melanggar aturan lama yang sudah ada dan aturan yang lebih tinggi, maka kesempatan usaha di bidang ini memang masih terbuka,” jawabnya menanggapi pertanyaan sejumlah wartawan.
Senada, Wabup Maryoto Bhirowo menegaskan pemerintah daerah tetap konsisten mendukung pembatasan peredaran minuman beralkohol di Tulungagung. Ia juga menegaskan pembentukan timwas perda miras masih terus digodok untuk selanjutnya dituangkan melalui keputusan peraturan bupati (perbup).
“Kasus kematian yang disebabkan OD (overdosis) miras sudah terlalu banyak, kita harus melakukan pengendalian secepatnya agar generasi muda Tulungagung tidak terus berjatuhan,” ujarnya.
Terkait kasus overdosis yang masuk di RSUD dr Iskak, sebagaimana data yang dikutip Kantor Berita Antara, selama kurun Januari-April 2014 jumlah korban akibat menenggak minuman keras mengandung zat methanol mencapai belasan orang.
Jumlah itu meningkat pesat hingga mendekati angka 50 orang pada akhir Agustus, dengan beberapa di antaranya berakhir dengan kematian. Jumlah tersebut sudah mendekati angka kasus OD minuman keras pada kurun 2013 yang mencapai 75 orang lebih.
Menurut Psikolog Universitas Surabaya (Ubaya), Hartati, mengatakan aturan pembatasan minuman keras yang sedang dibahas banyak pihak dalam Perda (peraturan daerah) dirasa penting dengan harapan bisa mengurangi peredaran dan penyalahgunaannya.
Namun, aturan itu bisa jadi sia-sia jika tidak dibarengi mekanisme penegakan dan sosialisasinya. Menurut dia, bagi beberapa orang menengah ke bawah, miras menjadi kebutuhan mereka untuk bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan emosi dalam lingkungannya.
“Intinya aturan Perda antimiras itu tidak akan berpengaruh banyak karena dari masyarakatnya sendiri juga mencari minuman keras itu,” jelasnya. Hartati berpendapat, aturan itu harus ditegakkan dari internal masyarakat sendiri.
“Sosialisasi harus diawali dari keluarga dulu, karena dengan melihat kondisi lingkungan keluarga, kita bisa melihat barometer moral setiap anggotanya,” ujarnya.

Artikel ini ditulis oleh: