“Di setiap gelombang sejarah, sastra adalah saksi. Kadang ia bersuara lembut seperti bisik angin, kadang ia menjerit seperti badai. Tapi selalu, ia mencatat jejak jiwa manusia.”
Kutipan ini mengingatkan kita akan kekuatan sastra sebagai kronik yang tidak hanya mencatat peristiwa, tetapi juga emosi dan makna di baliknya.
Puisi, dengan keindahan bahasanya, memiliki peran istimewa sebagai jembatan antara yang nyata dan imajinatif, antara fakta dan rasa.
Maka, ketika sebuah genre sastra baru seperti puisi esai muncul, ia bukan hanya menyentuh kata-kata, tetapi juga membuka ruang baru untuk pengalaman kolektif manusia.
Topik ini menjadi salah satu pembahasan utama dalam Festival Puisi Esai Jakarta ke-2, tahun 2024, di PDS HB Jassin, TIM. Lahirnya Angkatan Puisi Esai adalah momen penting dalam sejarah sastra Indonesia.
Angkatan ini didokumentasikan dalam empat buku tebal dengan total sekitar 2000 halaman, yang masing-masing mencatat perjalanan dan pencapaian genre ini.
Buku-buku itu menjadi bukti fisik sebuah gerakan besar, seperti kompas yang menandai arah baru sastra Indonesia, sekaligus ruang bagi dialog kritis tentang inovasi estetika, narasi sosial, dan relevansi sastra modern.
Angkatan Puisi Esai adalah fenomena unik dalam sejarah sastra, disebut sui generis oleh pengamat sastra Jerman, Berthold Damshäuser, karena menjadi angkatan pertama yang dinamai berdasarkan genre.
Menurut Berthold, ini adalah genre yang berkembang pesat dalam waktu singkat, melintasi batas Indonesia hingga Malaysia, Brunei, Thailand, dan Singapura. Ia juga mencatat bahwa belum pernah ada genre sastra sebelumnya yang digagas oleh satu individu dan mencapai dampak sebesar ini.
Agus R. Sarjono menegaskan bahwa sejak Angkatan 2000, hanya Puisi Esai yang menjadi inovasi besar dalam sastra Indonesia. Dimulai dari buku Atas Nama Cinta karya Denny JA pada 2012, genre ini telah melahirkan banyak karya dengan estetika dan tema serupa.
Agus menambahkan bahwa polemik yang melibatkan Puisi Esai melampaui semua perdebatan sastra sebelumnya, mencerminkan pengaruh besarnya.
Agus Sarjono adalah tokoh pertama yang mendeklarasikan lahirnya Angkatan Puisi Esai. Ia sudah menyatakannya pada Festival Puisi Esai ASEAN di Sabah ke-3, Juni 2024 lalu.
Agus pula yang memimpin penulisan 4 seri buku Angkatan Puisi Esai, yang total tebalnya sekitar 2000 halaman.
Jamal D. Rahman memandang bahwa masa depan Angkatan Puisi Esai bergantung pada generasi muda, khususnya Gen Z yang akrab dengan AI dan media sosial. Ia memuji inklusivitas genre ini, yang membuka ruang bagi orang dari berbagai latar belakang untuk menulis, sehingga menghapus eksklusivitas dunia kepenyairan dan mendukung keberlanjutan genre.
Agus melihat Angkatan Puisi Esai sebagai sebuah momen besar dalam sejarah sastra Indonesia. Ia menegaskan bahwa genre ini memiliki estetika yang khas: narasi panjang, tema sosial yang kuat, dan penggunaan catatan kaki sebagai elemen integral.
Agus juga menekankan bagaimana Puisi Esai telah melampaui batas Indonesia, diterima di Malaysia, Brunei, dan Singapura, menjadikannya gerakan sastra pertama di Indonesia yang benar-benar transnasional.
Berthold, seorang akademisi dan pengamat sastra dari Jerman, awalnya skeptis terhadap genre ini. Namun, ia kemudian mengakui kekuatan inovatif Puisi Esai.
Baginya, genre ini adalah sui generis — unik dan tak terbandingkan. Ia mencatat bahwa tidak pernah ada genre sastra lain yang tumbuh begitu pesat dan diterima luas, bahkan menembus konteks global, sejak awal digagas oleh satu individu.
Dalam esainya yang terpisah, Ahmad Gaus menyoroti pentingnya Puisi Esai sebagai jembatan antara sastra dan masyarakat luas. Dengan gaya narasi yang mudah diakses dan tema-tema yang relevan, Puisi Esai membuka pintu bagi mereka yang sebelumnya merasa terasing dari dunia sastra.
Ia menegaskan bahwa genre ini tidak hanya menjadi milik penyair, tetapi juga politisi, akademisi, dan masyarakat umum, menjadikannya sebuah gerakan literasi inklusif yang menyegarkan.
Juga dalam esai terpisah, Imam Qalyubi melihat Puisi Esai sebagai ijtihad sastra. Ia menyoroti riset mendalam yang dilakukan Denny JA sebelum memperkenalkan genre ini, yang mencerminkan kebutuhan masyarakat terhadap karya sastra yang relevan dan mudah diakses.
Baginya, Puisi Esai tidak hanya estetika tetapi juga cara baru untuk menghidupkan dialog sosial yang selama ini terabaikan oleh sastra konvensional.
Juga dalam esai lain, Joni menggunakan metafora yang kuat: kisah Luqmanul Hakim dan keledainya. Seperti Luqman yang tidak pernah bisa menyenangkan semua orang, Puisi Esai menghadapi kritik keras sejak awal kemunculannya.
Namun, ia menegaskan bahwa genre ini terus berkembang karena keyakinan pada kebaikan yang dibawanya. Joni juga memuji fleksibilitas Puisi Esai yang memungkinkan berbagai ekspresi seni lintas media, dari film pendek hingga teater.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano