Kritik dan Respon terhadap Lahirnya Angkatan Puisi Esai
Salah satu kritik paling kuat terhadap Angkatan Puisi Esai adalah bahwa genre ini dianggap terlalu by design atau hasil rekayasa, yang dibangun melalui pendanaan besar dan promosi sistematis, sehingga tidak mencerminkan organiknya pertumbuhan sastra.
Kritikus menilai bahwa keberadaan Angkatan Puisi Esai lebih dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi dan politik daripada oleh keaslian artistik atau respon alami masyarakat sastra.
Selain itu, adanya penggunaan catatan kaki dan unsur prosa dalam Puisi Esai juga sering dianggap merusak esensi puisi itu sendiri. Beberapa pengamat mengklaim bahwa genre ini lebih menyerupai esai dengan format berlarik-larik daripada puisi sejati, sehingga estetika puitisnya diragukan.
Namun, argumen bahwa Angkatan Puisi Esai adalah hasil rekayasa tidak sepenuhnya meniadakan nilainya.
Banyak inovasi dalam sejarah sastra lahir dari desain terencana, termasuk manifesto para penyair modernis atau gerakan sastra avant-garde.
Keberhasilan Angkatan Puisi Esai melibatkan lebih dari sekadar promosi; ia membuktikan relevansinya dengan melahirkan ratusan karya, menciptakan perdebatan luas, dan diterima lintas negara, dari Malaysia hingga Singapura.
Keberlanjutan genre ini selama lebih dari satu dekade membuktikan bahwa substansinya mampu melampaui kritik.
Mengenai estetika puitis, puisi selalu berevolusi. Kritik terhadap Puisi Esai mengingatkan pada penolakan terhadap puisi bebas ketika pertama kali diperkenalkan. Catatan kaki dalam Puisi Esai tidak merusak puitisasi, melainkan menawarkan perspektif baru dengan menggabungkan fakta dan imajinasi.
Inovasi ini memungkinkan sastra menjadi lebih inklusif, menjangkau pembaca dari berbagai latar belakang dan menciptakan ruang baru untuk dialog sosial.
Kini Komunitas Puisi Esai memiliki dua festival tahunan. Pertama, Festival Puisi Esai ASEAN yang pada tahun 2024 sudah berlangsung tiga kali. Kedua, Festival Puisi Esai Jakarta, yang sudah berlangsung dua kali.
Terminologi “Puisi Esai” juga sudah menjadi kata baru dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sejak tahun 2020. Komunitas Puisi Esai mulai meluas tak hanya di Indonesia, dari Aceh sampai Papua, dan ASEAN, kini juga sampai ke Kairo, Mesir.
Tak hanya berhenti di generasi Baby Boomers dan milenial, kini 181 penulis Gen Z juga menulis Puisi Esai.
Komunitas puisi esai ini juga sudah melahirkan hampir 200 buku, yang mengeksplorasi aneka TRUE STORIES isu sosial. Kini komunitas puisi esai dilembagakan dengan dukungan dana abadi.
Mengapa Penting Lahirnya Sebuah Angkatan Sastra?
Lahirnya Angkatan Puisi Esai tidak hanya menjadi tonggak penting dalam sastra Indonesia, tetapi juga mencerminkan kebutuhan fundamental dalam dunia sastra. Setidaknya ada tiga alasan mengapa lahirnya sebuah angkatan itu penting:
1. Mengabadikan Momen dan Identitas Zaman.
Angkatan sastra adalah cermin dari zaman. Ia tidak hanya mengabadikan karya-karya individual, tetapi juga mencatat perubahan sosial, budaya, dan politik yang membentuk generasi tertentu.
Angkatan Puisi Esai menjadi saksi momen pasca-Reformasi, di mana tema diskriminasi, suara kaum terpinggirkan, dan keadilan sosial menjadi relevan.
2. Menciptakan Ruang Dialog Kolektif
Angkatan sastra membuka ruang bagi para penulis untuk berinteraksi, berbagi gagasan, dan saling menginspirasi. Puisi Esai telah memicu perdebatan luas, baik di Indonesia maupun internasional, tentang batas-batas genre, fungsi sastra, dan perannya dalam masyarakat modern.
3. Menghadirkan Inovasi Estetika Untuk Isu Sosial.
Dengan menggabungkan puisi, narasi, dan fakta historis, Puisi Esai memperkenalkan bentuk baru yang kaya akan potensi. Kehadirannya memecahkan kebekuan estetik dan menciptakan alternatif segar bagi pembaca dan penulis sastra.
“Di setiap karya, sastra bukan hanya menuliskan kata, tetapi melahirkan dunia baru.”
Angkatan Puisi Esai bukan hanya tentang genre baru, tetapi juga tentang sebuah gerakan yang menawarkan ruang bagi kreativitas, refleksi, dan dialog.
Seperti gelombang yang terus meluas, Puisi Esai adalah undangan untuk menjelajahi batas-batas baru, menjadikan sastra tidak hanya relevan, tetapi juga transformatif.***
Oleh: Denny JA
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano