Palembang, Aktual.com – Persoalan subsidi terhadap petani sepertinya masih akan terus menjadi sorotan. Belakangan ini, puncak persoalan subsidi pupuk mengemuka ketika Presiden Joko Widodo pada pertengahan Januari 2021 mempertanyakan manfaat pemberian pupuk subsidi senilai Rp33 triliun. Pasalnya, subsidi yang digelontorkan itu hasilnya tidak membuat produksi pangan meningkat, tetapi justru mengalami penurunan.
Menjawab polemik tersebut, belakangan muncul wacana bahwa subsidi pupuk dialihkan ke harga gabah petani.
Kementerian Pertanian berencana menyiapkan bantuan kepada petani berupa subsidi harga gabah dan beras untuk menjaga daya beli. Namun, petani lebih membutuhkan kepastian penyerapan gabah atau beras dengan harga di atas ongkos produksi.
Musim panen pada Maret-April 2021 di beberapa daerah sentra beras Sumatera Selatan tak sebagus sebelumnya. Bukan hanya produktivitasnya yang menurun, petani juga terpaksa gigit jari karena harga gabah anjlok dari Rp4.000-Rp4.500 per Kg menjadi Rp3.600-Rp3.500 per Kg.
Wawan Darmawan, petani di Desa Sumber Mulya, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, mengeluhkan kondisi ini karena pendapatan yang diterima tak sebanding dengan biaya produksi.
“Dengan harga begini, harga jual beras hanya Rp7.150 per Kg. Tapi jika dihitung-hitung bersihnya hanya Rp7.000 per Kg, karena ada biaya sewa perahu cepat untuk bawa beras ke Palembang,” kata Wawan.
Penurunan harga gabah ini sebenarnya sudah terasa sejak musim panen Desember 2020, yang turun menjadi Rp3.800-Rp3.600 per Kg di kabupaten yang menjadi penghasil beras nomor satu di Sumsel dan nomor empat secara nasional ini.
Kondisi ini memberatkan petani karena dibarengi juga dengan penurunan produksi gabah. Biasanya Wawan menghasilkan 5-6 ton Gabah Kering Giling (GKG) per Hektare (Ha), kini hanya 3 ton GKG lantaran kurang pemupukan.
Wawan mengaku hanya memberikan dua karung pupuk Urea (per karung pupuk = 50 Kg) untuk lahan 1 Ha itu karena kesulitan mendapatkan pupuk subsidi dan melambungnya harga pupuk komersil. Seharusnya dibutuhkan 4 karung Urea, 2 karung pupuk SP-36 dan 2 karung pupuk Phonska.
Akibatnya, dengan rendeman 56-60 persen, pada panen kali ini hanya menghasilkan 1,8 ton beras dari lahan 1 Ha itu.
Ironis memang, di satu sisi petani diminta meningkatkan produksi pertanian tapi di sisi lain sepertinya tidak ada keseriusan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Persoalan penurunan harga gabah ini juga dikeluhkan, Ilham, petani padi di Dusun 3, Desa Muara Dua, Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Harga gabah pada April 2021 hanya Rp3.200 per kg, padahal pada musim panen Desember 2020 masih bertahan Rp3.600 per kg.
Dengan kondisi seperti ini, persoalan yang dihadapi petani diharapkan menjadi perhatian pemerintah.
Ilham merincikan, saat ini setidaknya petani membutuhkan modal Rp10 juta untuk menggarap lahan seluas 1 Ha yang digunakan untuk biaya sewa alsintan, pembelian benih dan pupuk serta upah kegiatan pasca panen, dll.
Sementara pendapatan yang diterima dari produksi 6 ton GKG/Ha yang menghasilkan 3,5 ton beras (rendemen 56 persen) terbilang tak sebanding. Dengan harga Rp7.000/Kg maka hanya memperoleh Rp24.500.000.
Setelah dikurangi biaya produksi sebanyak Rp10 juta maka petani hanya mendapatkan pendapatan bersih Rp14.500.000. Dan, jika dibagikan 100 hari (satu kali masa tanam) maka petani setiap hari hanya berpendapatan Rp145.000.
Penurunan harga gabah ini sontak tergambar pada nilai tukar petani (NTP). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumsel diketahui Indeks NTP pada Desember 2020 hanya 97,71 atau tidak mencapai angka 100, sementara pada November 2020 mencapai indeks 99,05.
“Jika Indeks NTP tidak sampai 100, artinya petaninya rugi,” kata Kepala BPS Sumsel Endang Tri Wahyuningsih.
Pada musim panen Maret 2021, indeks NTP padi juga melorot yakni hanya 97,14. Kondisi ini berbanding terbalik dengan NTP sektor perkebunan dan peternakan yang mampu mencatat indeks di atas 100.
Tunda jual
Terkait kondisi anjloknya harga gabah ini, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menyarankan petani menunda untuk menjual hasil produksi.
Kepala Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sumsel Raden Bambang Pramono mengatakan jika pun petani terpaksa menjual gabahnya, disarankan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sementara waktu saja.
Saat ini harga gabah sedang anjlok, yang mana harganya jauh dari harga pembelian pemerintah (HPP). Penyebabnya, karena terjadi peningkatan produksi padi karena terjadi panen yang serentak di sejumlah daerah.
Namun, pemerintah terus berupaya agar harga gabah ini kembali stabil, diantaranya dengan memperbaiki tata kelola pasca panen.
Berdasarkan angka statistik 2020, produksi gabah Sumsel mencapai 2,71 juta ton atau setara dengan 1,47 ton beras.
Sedangkan untuk konsumsi per tahun dengan jumlah penduduk 8,24 juta jiwa maka hanya membutuhkan 850 ribu ton beras per tahun atau masih surplus di kisaran 900 ribu ton beras. Adapun proyeksi panen hingga April 2021 diperkirakan produksi petani akan mencapai 774 ribu ton GKG atau setara 400 ribu ton beras.
Menurut catatan, Sumsel merupakan tertinggi ketiga se-Indonesia untuk serapan gabah, dan pada 22 Maret 2021 serapan Bulog sudah mencapai 15 ribu ton beras.
Pemerintah menyadari bahwa tidak dapat sepenuhnya bisa bertumpu pada serapan Badan Urusan Logistik (Bulog) mengingat tingginya produksi pertani saat musim panen kali ini.
Bulog tentunya memiliki keterbatasan anggaran terkait hal tersebut. Walau demikian, Pemprov tetap menargetkan Bulog dapat menyerap 80 ribu ton beras untuk dua musim tanam 2021 di Sumsel.
Kepala Divre Bulog Sumsel dan Babel Ali Ahmad Najih mengatakan Pemprov Sumsel meminta Bulog menyerap 50 ribu ton beras petani hingga Mei 2021. Optimistis serapan gabah dapat tercapai karena setiap hari mampu menyerap 700 ton beras petani di berbagai daerah.
Subsidi
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan anjloknya harga gabah ini merupakan satu dari sekian banyak persoalan yang ada di sektor pertanian Sumatera Selatan yang tengah mengejar target produksi 3,1 juta ton GKG pada 2021.
Persoalan lainnya yang juga menjadi sorotan yakni penyaluran pupuk subsidi, infrastruktur pertanian yang belum merata, hingga losses (rugi-rugi) hasil produksi padi yang cukup tinggi yakni mencapai 11 persen.
Dengan beragam permasahan itu, hingga kini Sumsel juga belum mampu meningkatkan produktivitas lahan. Petani rata-rata memproduksi 5,9 ton GKG per Ha, sementara di Jawa sudah mencapai 9 ton GKG per Ha. Bahkan provinsi tetangga, Lampung sudah bisa 7 ton GKG per Ha.
Menurutnya, untuk membantu petani harus dilakukan inovasi yang lebih ekstrem. Subsidinya jangan di pupuk, tapi di harga gabahnya agar petani punya jiwa entrepreneur. Jangan mereka jadi kuli di lahan sendiri.
Saat ini, dengan HPP beras Rp8.500 per Kg maka petani hanya mendapatkan pendapatan kotor Rp30 juta dalam 100 hari (satu kali musim tanam).
Lebih miris lagi, adanya fakta bahwa ketika HPP gabah ditetapkan misalnya Rp5.300 per Kg maka harga di pasaran hanya Rp3.000 per Kg, dan ketika HPP beras Rp8.300 per Kg maka harga beras di pasaran Rp7.000 per Kg.
“Tak ada cara lain selain meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan pendapatan petani. Namun, upaya ini tidak mudah karena diakui tata kelola pertanian di Sumsel belum sebaik di Jawa,” kata Herman.
Senada, Anggota Komisi IV DPR RI Riezky Aprilia mengatakan sebaiknya subsidi bagi petani diberikan pada harga gabah karena bantuan langsung yang diberikan pemerintah sulit untuk menjangkau seluruh petani.
“Bahkan kami di Komisi IV sudah mempertimbangkan untuk menghentikan program subsidi pupuk,” kata dia.
Wakil rakyat daerah pemilihan Provinsi Sumatera Selatan itu berpendapat, dengan anggaran Rp33 triliun seharusnya pupuk subsidi itu tidak lagi menjadi masalah bagi petani. Namun yang terjadi justru sebaliknya, kelangkaan pupuk masih terjadi.
Sumatera Selatan pada 2020 berada pada urutan kelima untuk produksi gabah secara nasional yakni 2,6 juta ton GKG, atau masih di bawah Sulawesi Selatan dengan 4,6 juta ton GKG, Jawa Barat 9,0 juta ton GKG, Jawa Tengah 9,6 juta ton GKG dan Jawa Timur 9,9 juta ton GKG.
Dengan target 3,1 juta ton GKG pada 2021 itu, artinya Sumsel harus menambah sekitar 400 ribu ton GKG karena produksi tahun 2020.
Cukup menarik mengamati konsep subsidi bagi petani yang diterapkan oleh negara produsen lain seperti Vietnam dan Thailand.
Kedua negara itu memberikan subsidi pada sisi ouput, yang mana pemerintah membeli beras petani dengan harga acuan ditambah nilai subsidinya.
Dengan harga acuan plus subsidi yang diberikan pasca panen tersebut, membuat harga beras di kedua negara tersebut terbilang stabil. Selain karena ditopang ongkos produksinya yang lebih murah.
Sementara, Indonesia menganut konsep subsidi input, atau dengan kata lain pemerintah menggelontorkan subsidi untuk pupuk dan benih.
Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Provinsi Sumatera Selatan Zain Ismed mengatakan organisasinya sangat mendukung jika nantinya subsidi ke petani diberikan pada sisi output asalkan tepat sasaran.
HKTI menilai selama ini pemberian subsidi pupuk, benih, hingga bantuan alat mesin pertanian (alsintan) tidak menyentuh seluruh petani karena alokasi anggaran yang terbatas.
Namun, HKTI juga tidak sepaham jika petani diberikan bantuan langsung tunai (BLT) karena dikhawatirkan dimanfaatkan untuk kebutuhan yang bersifat konsumtif.
Harga gabah anjlok ini sebenarnya wajar saja, karena kondisi yang sama terjadi juga untuk kopi, sawit dan palawija saat panen.
Terpenting, bagaimana menjadikan tata kelola pertanian menjadi lebih efisien sehingga petani tidak menjadi kuli di lahannya sendiri.
Petani diharapkan mandiri yang tidak tergantung dengan subsidi, tapi faktanya hal itu masih sulit terwujud. Jika subsidi di sisi input kurang berdampak, mengapa tidak mencoba subsidi pada harga gabah ?.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin