Dalam pidato resmi Presiden Prabowo Subianto menyatakan secara tegas, bahwa pemerintahanya akan memangkas seluruh proses birokrasi yang berbelit belit, yang dipandang tidak efektif dalam melayani masyarakat, di mana selama ini ada anggapan dan pandangan dari masyarakat apabila bisa dipersulit mengapa harus dipermudah? Di mana seharus nya kita menerapkan proses birokrasi apabila bisa dipermudah mengapa harus dipersulit.
Salah satu pejabat dalam pemerintahan Prabowo – Gibran yang Baru saja dilantik jadi Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Haikal Hasan, dalam keterangan pers nya menyatakan bahwa bagi semua produk kemasan yang beredar di Indonesia harus berkewajiban bersertifikat halal, menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Bahwa kewajiban menempelkan sertifikat halal dalam produk kemasan makanan yang beredar disamping akan menghambat perdagangan baik dalam negeri maupun untuk ekspor juga akan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat bagi pemeluk agama selain Islam, di mana Indonesia adalah negara multi etnis dan masyarakat nya yang pluralisme, yang terdiri dari banyak suku, ras, agama dan kepercayaan walaupun mayoritas beragama muslim, bahwa pernyataan Haikal Hasan tersebut justru mencerminkan sebuah jorgan kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?
Belum lagi kontraversi pernyataan Menteri Hak Asasi Manusia, yang akan mengajukan dana bagi kementerian HAM hingga 20 Triliun Rupiah, tentu sangat menyakiti hati rakyat yang mayoritas masih hidup dibawah kemiskinan. Hal ini agar menjadi perhatian khusus dari Presiden Prabowo Subianto menyangkut statment bawahannya kepada masyarakat melalui media massa.
Situasi kedepan yang akan dihadapi oleh pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto tidak lah mudah, dengan melihat situasi Geo Politik dan Geo Strategis Global dan regional (kawasan) yang mengalami ketidak pastian karena adanya peperangan antar negara baik di Balkan, antara Rusia dan Ukraina yang tiada kunjung selesai yang mengancam kelangkaan gandum dunia, belum lagi antara Israel Hamas di Palestina, dan yang terbaru serangan Israel terhadap Iran, dan perlombaan senjata dikawasan Asia Pasifik dipicu keberadaan AUKUS, yakni Australia, United King Dom/Inggris dan Amerika Serikat dalam membentuk blok kekuatan militer di Indo – Pasifik, melawan China Tiongkok, di mana letak geografis Indonesia yang sangat strategis dan ditengah jalur perairan antara Laut China Selatan dengan samudera Hindia yang harus melalui selat Malaka, Alki 1 dan Alki 2 dari wilayah Indonesia, yang kita sadar betul wilayah kita telah dikepung oleh keberadaan pangkalan pangkalan militer negara adidaya, baik sebelah selatan ada pangkalan marinir di Darwin Australia, pulau Cristmas, pulau kecil diselatan samudera Hindia, Papua Nugini, diutara ada pangkalan militer di Singapura, dan laut China selatan terjadi klaim tumpang tindih nine dase line dengan Tiongkok, dengan demikian maka kedepan mau tidak mau akan menyeret negara kita apabila terjadi kontelasi politik dan keamanan kawasan menjadi ajang peperangan besar yang ditimbulkan adanya persaingan hegemoni kekuatan dunia saat ini, walaupun politik kita menganut politik bebas aktif sebagai negara non blok.
Belum lagi rencana Indonesia yang secara resmi melalui menteri luar negeri Sugiono menyatakan berkeinginan masuk dalam organisasi negara negara yang tergabung dalam BRICS, yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Hal ini akan memicu persaingan negara besar dalam melakukan kekompokan blok agar nilai dolar mereka tetap eksis sebagai mata uang international dalam perdagangan dunia.
Pemerintahan Prabowo mematok pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen, bahkan lebih dari itu, merupakan sebuah keinginan yang mulia dan perlu didukung oleh seluruh masyarakat dan komponen bangsa, akan tetapi sangat tidak mudah, yang tentu memerlukan semangat kemauan kerja keras disiplin dan sistem yang menunjang. Yang perlu dibenahi dan sangat mendesak adalah salah satunya soal penegakan hukum di negeri ini yang sangat memprihatinkan, pembenahan nya baik secara sistem maupun mental dari para penegak hukum nya, proses perekrutan dan pendidikan nya sebagai calon calon penegak hukum, baik di lembaga Kepolisian, Kejaksaan, maupun lembaga lembaga Anti Rasuah korupsi yang bersifat Lex spesialis.
Tidak semua apa yang menjadi warisan Orde Baru saat pemerintahan Pak Harto adalah jelek menyangkut tata kelola birokrasi, salah satunya adalah menyangkut pengangkatan hakim Agung dan sistem pendidikan calon hakim saat dikabat oleh Punokawan begawan hukum, Ali said, Ismail Saleh dan Moejono dan saat itu, dimana pengangkatan hakim agung murni dari jalur karier yang dipilih melalui seleksi kinerja dalam putusan putusan nya sebagai mahkota keadilan, yang lalu diusulkan oleh ketua pengadilan tinggi kepada Mahkamah Agung, dan rekomendasi mahkamah agung kepada menteri kehakiman saat itu, tanpa harus melalui proses fit and proper test di DPR RI pada komisi III, DPR RI. Mengapa? Karena memang format sebuah putusan pengadilan beda dengan format dari tesis maupun jurnal dari akademisi yang memang memerlukan sebuah pengalaman empiris selama bertahun tahun dalam praktek peradilan. Disamping itu juga perlu dipertimbangkan menaikan tunjangan dan gaji hakim baik pada tingkat pertama pada pengadilan tinggi maupun pada hakim tinggi dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, agar kinerja mereka bisa fokus dan tidak lagi memikirkan kebutuhan hidup untuk pendidikan anak nya yang makin mahal, yang mana merupakan salah satu upaya agar tidak bisa diiming imingi segala macam bentuk gratifikasi, agar bisa lebih tenang dalam mengemban suatu institusi peradilan. Disamping itu agar tidak timbul rasa kecemburuan dari hakim hakim karier yang meniti karier dari bawah, merasa diperlakukan tidak adil, di mana sangat sulit untuk mencapai karier puncak sebagai hakim agung yang diidam idamkan oleh mereka, sementara dalam pengangkatan hakim agung bisa mengangkat dari luar karier baik dari akademisi maupun politisi, yang membuat para hakim karier frustasi yang berakibat kinerjanya juga setengah hati, yang sebetul nya banyak dari mereka mempunyai wawasan dan integritas yang brilian dalam menciptakan sebuah putusan yang bisa dijadikan Yurisprodensi seperti hakim hakim karier saat pemerintahan Orde Baru. Hal ini harus menjadikan pemikiran dan pertimbangan dari pemerintah presiden Prabowo Subianto.
Disamping itu tinjau ulang proses penindakan melalui pemidanaan dalam perkara tindak pidana yang menyangkut Kerugian negara, yang lebih difokuskan pada pengembalian kerugian secara Restoratif justice, di mana hukum pidana dalam pemidanaan bersifat Ultimum Remidium (jalan terahir) kecuali apabila telah terbukti merugikan negara yang nyata dengan etikat tidak baik, tidak juga mau kooperatif ngembalikan kerugian negara, baru dilakukan penyitaan aset dan pemidanaan secara maksimal,
Dengan proses peradilan yang jujur dan adil, hukum tajam dibawah hingga di atas, harus dimulai dari para pemimpin nya yang bisa memberikan contoh dan memegang teguh asas Ing Ngarso sung Tulodo (memberikan tauladan contoh yang baik) kepada bawahan, ditengah kondisi dalam sistem peradilan kita yang sangat buruk, dimana hukum sudah dijadikan obyek bisnis deni keuntungan, yang berpeinsip hukum untuk keuntungan, bukan lagi hukum untuk manusia dan melayani, tapi sudah beralih pada manusia untuk hukum yang diciptakan untuk meraih keuntungan, maka secara otomatis stabilitas keamanan terjamin dan kemakmuran secara ekonomi meningkat, menuju cita cita Proklamasi sesuai pembukaan UUD 1945, menuju sebuah negara adil, makmur, gemah ripah loh jinawi, Toto tentrem Kerto Raharjo.
Dan itu harapan kami kepada pemerintahan baru dari presiden Prabowo Subianto .
Oleh : Agus Widjajanto
Praktisi hukum, pemerhati masalah sosial budaya, hukum, politik dan sejarah bangsanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano