Flores, aktual.com – Beberapa hari terakhir ini ramai kita berdiskusi tentang belis dalam korelasi dengan warisan budaya dan kemampuan memenuhi kewajiban adat.
Terjadi pro kontra yang hangat terkait perlu tidaknya belis itu direformasi (disederhanakan) atau tetap dipertahankan.
Dari polling secara digital, mayoritas peserta polling menginginkan adat belis disederhanakan atau direformasi. Ini realitas sosial yg ada di masyarakat dan pelaku adat.
Dari diskusi yang berkembang, ada yg bepandangan atau menganggap kesanggupan membayar belis terakit erat dengan ETOS KERJA.
Tulisan saya kali ini fokus pada menakar etos kerja orang Flores dan realita sosial yang mengitarinya.
Apa Itu Etos Kerja?
Etos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini haruslah dimiliki oleh individu, kelompok,masyarakat, apalagi oleh seorang ASN, Aparat militer /TNI,Kepolisian dan lain sebagainya.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok. Kerja dalam arti pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia baik dalam hal materi, intelektual dan fisik, maupun hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian maupun keakhiratan.
Jansen Sinamo, ahli pengembangan sumberdaya manusia secara sistematis telah memetakan motivasi kerja dalam konsep 8 Etos Kerja sebagai berikut:
Etos pertama: Kerja adalah Rahmat.
Pekerjaan itu adalah Rahmat Tuhan untuk kita. Apa pun pekerjaan kita, entah petani, pegawai kantor, pedagang sampai buruh kasar sekalipun, semua itu adalah rahmat dari Tuhan. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah.
Pemahaman demikian akan mendorong untuk bekerja dengan tulus dan sungguh, akan keterlaluan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahan, malas-malasan, enggan melayani orang lain.
Etos kedua : Kerja adalah amanah.
Melalui kerja kita menerima mandat. Sebagai pemegang mandat, kita dipercaya, berkompeten dan wajib melaksanakannya sampai selesai. Jika terbukti mampu, kita akan dipercaya dan tanggung jawab akan semakin menguat. Di pihak lain hal ini akan menjadi jaminan sukses pelaksanaan mandat yang akan mengukir prestasi kerja dan pengharapan. Maka tidak ada pekerjaan yang tidak tuntas. Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat Kepala Desa mendapat amanah dari masyarakat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela.
Etos ketiga : Kerja adalah panggilan.
Kerja itu suci, kerja adalah panggilanku, aku sanggup bekerja benar. Suci berarti diabdikan, diuntukkan atau diorientasikan pada Tuhan , dalam rangka kita beribadah kepada Tuhan. Penghayatan kerja semacam ini hanya mungkin terjadi jika seseorang merasa terpanggil. Dengan kesadaran seperti itu maka kerja menjadi sebuah panggilan suci, maka terbukalah perasaan untuk melakukannya secara benar.
Seorang ASN memanggul darma untuk masyarakat dan koleganya yang memerlukan bantuannya, seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat. Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita dapat berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Etos keempat : Kerja adalah aktualisasi
Kerja itu sehat, kerja adalah aktualisasi, saya sanggup bekerja keras. Maksudnya adalah bekerja membuat tubuh, roh dan jiwa menjadi sehat. Aktualisasi berarti mengubah potensi menjadi kenyataan. Aktualisasi atau penggalian potensi ini terlaksana melalui pekerjaan, akibatnya kita menjadi kuat, sehat lahir batin. Maka agar menjadi maksimal, kita akan sanggup bekerja keras bukan kerja asal-asalan.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Etos kelima : Kerja itu ibadah
Kerja adalah pengabdian, saya sanggup bekerja serius. Tuhan mewajibkan manusia beribadah (secara ritual) dan beribadah (dalam artian kerja yang dilakukan untuk Tuhan). Kerja merupakan lapangan konkrit melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.
Jadi bekerja harus serius dan sungguh- sungguh agar makna ibadah dapat teraktualisasikan secara nyata sebagai bentuk melayani Tuhan. Tak perduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita dapat bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendetal.
Dengan demikian pekerjaan yang kita lakukan dengan tingkat keletihan yang luar biasa akan terobati karena kita tidak hanya mendapatkan nilai untuk kepentingan kita didunia, tetapi pekerjaan kita akan dinilai ibadah oleh Tuhan dan akan kita bawa sebagai amal ibadal dihadapanNya kelak.
Etos keenam : Kerja adalah seni.
Apapun yang anda kerjakan pasti ada unsur keindahan, keteraturan, harmoni, artistik seperti halnya seni. Untuk mencapai tingkat penghayatan seperti itu dibutuhkan suatu kreatifitas mengembangkan dan menyelesaikan setiap masalah pekerjaan. Jadi bekerja bukan hanya mencari uang, tetapi lebih dari pada mengaktualisasikan potensi kreatif untuk mencapai kepuasan seperti halnya pekerjaan seni sehingga kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi.
Etos ketujuh : Kerja adalah kehormatan.
Kerja itu kehormatan, kerja adalah kewajiban, saya sanggup bekerja unggul. Sebagai kehormatan kerja memiliki 5 dimensi : ( 1 ). Pemberi kerja menghormati kita karena memilih sebagai penerima kerja ( 2 ). Kerja memberikan kesempatan berkarya dengan kemampuan sendiri ( 3 ). Hasil karya yang baik memberi kita rasa hormat ( 4 ). Pendapatan memandirikan seseorang sehingga tidak jadi tanggungan atau beban orang lain ( 5 ). Pendapatan bisa menanggung hidup orang lain. Semuanya adalah kehormatan. Maka respon yang tepat adalah menjaga kehormatan itu dengan bekerja semaksimal mungkin untuk menghasilkan mutu setinggi- tingginya. Dengan unggul disegala bidang kita akan memenangkan persaingan.
Seremeh apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika dapat menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Sebagai contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer, Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun dia dikucilkan di pulau Buru yang terbatas. Hasilnya memperlihatkan bahwa semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
Etos kedelapan : Kerja adalah pelayanan.
Kerja itu mulia, kerja adalah pelayananku, aku sanggup bekerja sempurna. Kemuliaan sejati datang dari pelayanan. Orang yang melayani adalah orang yang mulia. Pekerjaan adalah wujud pelayanan nyata bagi institusi maupun orang lain. Kita ada untuk orang lain, manusia mampu proaktif memikirkan dan berbuat bagi orang lain dan masyarakat.
Maka kuncinya ia akan sanggup bekerja sempurna. Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercusuar, semuanya dapat dimaknai sebagi pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatangkara karena ditinggal mati oleh isteri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi, sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu.
Tak ada yang membayarnya. tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km Sungai- sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal. Di Indonesia semangat kerja serupa dapat kita jumpai pada Mak Eroh yang membelah bukit untuk mengalirkan air ke sawah-sawah di desanya di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Menakar Etos Kerja Orang Flores
Saya orang Flores asli dari sebuah kampung kecil di Rerawete. Orang tua saya tahun 60an hijra ke Tongatey, Nangaroro (Nagekeo) dan menetap di daerah ini sampai saat ini.
Sebagai orang Flores saya harus jujur mengatakan bahwa etos kerja kita masih lemah jika dibandingkan dengan etnis lainnya seperti Cina, Padang, dan Jawa. Yang terakhir sengaja saya sebutkan karena saya melihat dari dekat etos kerja mereka.
Dari delapan (8) etos kerja diatas, penghayatan kita tentang kerja masih setengah-setengah dan sangat lemah.
Mungkin saya terlalu subjektif melihatnya. Mungkin juga saya terlalu menggeneralisirnya, tapi sejauh pengamatan saya, apa yg saya katakan itu bisa benar dan bisa dipertanggungjawabkan.
Saya tidak ingin membahas satu persatu 8 etos kerja diatas karena akan terlalu panjang menjelaskannya.
Saya hanya mengangkat satu saja sebagai contoh yakni etos kerja yg ke-5, Kerja sebagai Ibadah. Kerja adalah pengabdian, saya sanggup bekerja serius. Kerja merupakan lapangan konkrit melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Jadi bekerja harus serius dan sungguh- sungguh agar makna ibadah dapat teraktualisasikan secara nyata sebagai bentuk melayani Tuhan.
Coba lihat saja realita disekitar kita. Jam berapa orang Flores turun kesawah atau ke kebun? Jam berapa ASN ke kantor atau sekolah? Kalaupun ASN tepat waktu itu karena takut dipecat.
Caba kita lihat bersama, berapa jam kita bekerja sehari? Efektifkah kita bekerja di ladang, di sawah atau di kantor atau di tempat lainnya?
Di banyak tempat rata-rata orang bekerja 8 jam bahkan lebih. Mereka bekerja sungguh-sungguh. Mereka memanfaatkan waktu dengan sangat efektif.
Di China para petani dan pekerja sudah berada di kebun jam 5 pagi. Di Jawa Barat para petani jam 6 pagi sudah di sawah.
Bagaimana dengan Flores? Di Nangaroro kampung saya jam 9 atau jam 10 orang baru ke kebun, jam 12 sudah di rumah lagi, jam 4 sore ke kebun lagi dan jam 6 sore sudah di rumah lagi. Hitung saja berapa jam efektif mereka bekerja? Saya yakin ditempat lain juga sama.
Ketika bapak-bapak ke kebun, ibu-ibu mulai gosip artis atau sinetron dan juga gosip tetangga. Mereka lalu membentuk barisan. Kutu yang jadi sasaran. Ketika kredit harian datang mereka kabur dan ada yg lompat lewat jendela.
Satu kelemahan kita adalah kebiasaan GESA. Kebiasaan kongko-kongko ini membuat kita kehilangan banyak waktu untuk bekerja. Ada yang geza dari pagi sampai sore. Kopi, makanan ringan jalan terus. Apa lagi kalau arak satu botol sudah ada diatas meja maka dunia ini serasa milik kita. Kita kurang memanfaatkan waktu dengan benar untuk kerja, kerja dan kerja.
Kita lebih senang membanggakan hasil kerja orang lain ketimbang kerja kita itu sendiri. Ketika orang Bima berhasil menanam dan memanen bawang merah di Mbay, kita membangga-banggakan mereka tanpa berusaha menanam seperti mereka. Yang lebih parahnya lagi ada pejabat pemerintah yg lantang membanggakan itu. Buat saya itu ironis.
Saya sependapat dengan mereka yang mengatakan bahwa kemiskinan di NTT termasuk di Flores utamanya Nagekeo lebih disebabkan oleh KEMALASAN. Kita tidak punya etos kerja yang tinggi. Apalagi dengan adanya HP dewasa ini, kita lebih banyak bekerja di Facebook, WA dan lainnya. Dan lebih banyak berdoa kepada Mark Zuckerbek sang pendiri Facebook.
Kita kembali ke Etos Kerja. Sekali lagi tulisan ini hanya semata – mata untuk menggugah spirit kita tentang etos kerja kita. Karena, tanpa kedisiplinan, kerja keras dan komitmen yang tinggi tentang kerja, kita akan menjadi penonton di daerah kita sendiri. Jangan salahkan orang Padang yanag terus membuka cabang Warung Padang dimana-mana dan orang Cina yang tokonya makin hari makin besar.
Semoga tulisan ini menjadi pemecut bagi kita semua dan menjadi refleksi bersama mengapa NTT selalu dijuluki propinsi miskin.
Mari kita kerja kerja, kerja dan kerja agar kehidupan ekonomi kita lebih layak. Dan semoga dari hasil kerja kita, kita bisa menyekolahkan anak-anak dan sisanya untuk bawa belis dan jaga waka.
Artikel ini ditulis oleh:
Tatap Redaksi