KPK menduga atas kebijakan penerbitan SKL untuk BDNI tersebut, negara telah dirugikan sebesar Rp3,7 triliun.
BDNI sendiri merupakan milik Sjamsul Nursalim. Bank tersebut merupakan salah satu yang mendapat SKL BLBI senilai Rp27,4 triliun.

Surat lunas tersebut terbit pada April 2004 Sjamsul lantas melego sejumlah aset kepada pemerintah, di antaranya tambak udang PT Dipasena (laku Rp2,3 triliun), serta produsen ban Grup Gajah Tunggal, yakni GT Petrochem dan GT Tire (laku Rp1,83 triliun).

Syafruddin lantas dijerat KPK dengan Atas Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Setelah diperiksa sebanyak tiga kali, tepat pada 21 Desember 2017, KPK resmi menjebloskannya ke sel tahanan.

Sejak 2013 hingga keputusan kasus ini dilimpahkan ke jaksa penuntut, tercatat sudah 83 saksi diperiksa. Tercatat nama-nama seperti, Menko Bidang Perekonomian era Presiden Abdurahman Wahid, Rizal Ramli, Menteri BUMN era Megawati Soekarnoputri, Laksamana Sukardi, Menko Perekonomian era Megawati Soekarnoputri, Dorodjatun Kuntjoro Jakti, hingga pada 28 Desember 2017, mantan Menteri Keuangan sekaligus mantan Wakil Presiden Boedino ikut diperiksa KPK.

Selain nama-nama beken di atas, KPK pun ikut memeriksa guru besar Fakultas Ekonomi UI, Staf, Direksi dan Komisaris PT Gajah Tunggal, Ketua Komite Kebijakan Stabilitas Keuangan (KKSK), Staf Khusus Wapres hingga pegawai dan Ketua BPPN.

KPK Tak Akan Sasar Megawati

Surat Keterangan Lunas (SKL) diterbitkan berdasarkan Intruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 dan Tap MPR Nomor 6 dan 10. Kebijakan itu diambil Presiden Megawati Soekarno Putri atas masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro Jakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby