Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan. Angka itu yang dianggap KPK sebagai kerugian negara.
Hal inilah yang kemudian dipertanyakan Rachmawati Soekarnoputri. Menurut saudari kandung Megawati keputusan Ketua KPK Agus Rahardjo keblinger.
“Kata Ketua KPK kebijakan itu tak bisa dikriminalisasi. Ini bikin keblinger orang. Justru kebijakan itu yang buat kita salah,” kata Rachmawati beberapa waktu yang lalu.
Ia mengaku kecewa dengan sikap KPK tersebut. Sebab menurut dia, Syafruddin hanyalah pihak yang menjalankan kebijakan Megawati ketika itu.
“Menurut saya, bukan Syafruddin Temenggung yang harus diperiksa, tapi bonggonya itu siapa. Yang memberikan kebijakan Inpres No 18 tahun 2002 itu pada saat Presiden Megawati,” kata dia.
Rachmawati lantas memberikan contoh mantan Presiden Korea Selatan, Park Geun-hye yang dihukum penjara karena kebijakannya yang koruptif.
“Kita koreksi kebijakan Soeharto koruptif, KKN, apa tak boleh dikoreksi? Kenapa tak boleh dikoreksi? Harus dilakukan kebijakan hukum yang adil dan benar,” kata dia.
Meski Megawati merupakan saudara, Rachmawati tegas soal keadilan bagi rakyat.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby