Ia menceritakan bahwa Kampung Naga bukan merupakan objek wisata untuk menghindari komersialisasi, seperti penarikan retribusi dan tiket bagi pengunjung. Pemberlakukan biaya masuk pernah terjadi sekitar 1999, namun kemudian warga memutuskan menolak desa adatnya dijadikan tempat wisata.
“Tamu boleh saja berkunjung tanpa bayar tiket, karena kami sendiri menjunjung tinggi silaturahim. Namun apabila ada acara adat khusus, tamu tidak diperbolehkan mengambil foto atau video,” ucap Darmawan.
Acara adat tersebut biasanya merupakan kegiatan yang diselenggarakan di Bumi Ageng yang menjadi salah satu tempat sakral dan keramat peninggalan nenek moyang. Bumi Ageng salah satunya digunakan warga adat untuk menjalankan ritual sebelum berziarah ke makam leluhur yang berada di hutan keramat sebelah timur laut Kampung Naga.
Terikat Adat Sebagai kampung adat, Kampung Naga dipimpin oleh satu lembaga adat yang terdiri dari tiga tokoh adat, yaitu kuncen, lebe adat, dan punduh adat, yang dijabat secara turun-temurun dan tidak dipilih oleh warga.
Kuncen bertugas sebagai pemangku dan pemimpin upacara adat. Lebe mempunyai tugas membantu pihak yang meninggal, dari memandikan sampai menguburkan, kemudian punduh mempunyai tugas sebagai penyebar informasi ke masyarakat.
Penghuni atau kaum Naga yang tinggal di desa adat tersebut sebanyak 300 orang dari 101 kepala keluarga. Terdapat 113 bangunan yang terdiri dari 110 rumah (101 dihuni dan 9 rumah kosong) dan tiga bangunan sarana umum yaitu masjid, balai pertemuan, dan lumbung padi.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby