Jakarta, Aktual.com – Nasib sejumlah petani yang memiliki lahan persawahan di Rorotan, Cakung, Jakarta Timur hingga kini terlunta-lunta karena ketidakjelasan ganti rugi. Dalam waktu dekat, mereka bakal mengadukan persoalan ini ke Presiden Jokowi.
“Dulu, kami dijanjikan Pemprov DKI dapat ganti rugi Rp2.500/ meter atas lahan tersebut. Namun sampai detik ini dana itu tidak pernah kami terima,” ungkap Sutiman Bin Ayub, perwakilan petani Cakung dalam pers conference di Jakarta, kemarin (14/5).
Dikisahkannya, lahan garapan para petani di wilayah Rorotan, Cakung, sebelumnya masuk dalam daerah Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Namun pada tahun 1970-an dengan keputusan Gubernur Jawa Barat, daerah tersebut dimasukkan ke dalam wilayah administrasi kota Jakarta Timur. Pada awal tahun 1980 Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memiliki program inventarisir wilayah untuk Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dan waduk. Tanpa diketahui sebelumnya, ternyata belakangan Pemprov DKI Jakarta malah menyerahkan ke pihak swasta (Jakarta Garden City-JGC) untuk dibangun danau.
“Padahal kami belum diberikan hak-haknya ganti rugi yang dijanjikan,” ujarnya.
Sejak lahan dikuasai oleh proyek perumahan elit salah satu pengembang. Lahan yang seluas 60 hektar milik para petani atas nama Sutiman Bin Ayub dan kawan-kawan otomatis tidak bisa lagi dimanfaatkan. Padahal lahan itu dulunya bisa membantu perekonomian masyarakat dengan ditanami padi, sayuran hingga tempat untuk berternak bebek.
“Jadi pembangunannya mengabaikan hak para pemilik lahan. Para petani ini hingga detik ini belum mendapatkan ganti rugi. Tetapi sudah dibangun danau dan perumahan,” kata Marthen N SH MH kuasa hukum petani Cakung, dalam keterangan tertulisnya, Selasa (15/5).
Pada tahun 2015, Sekda Pemprov DKI, Saefullah sempat mengeluarkan surat himbauan kepada pengembang agar proyek pembangunan tersebut dihentikan. Namun hal itutidak terjadi, dihiraukan oleh pihak pengembang dan justru masih berjalan sampai sekarang. Akibatnya, Sutiman dan para petani Rorotan, sejak 2015 lalu jadi pengangguran. Mereka tidak diperbolehkan lagi menggarap lahannya, lantaran dihalang-halangipengembang.
“ Dulu setiap tahun 1 Ha sawah bisa menghasilkan 3-5 ton gabah, sekarang kita hanya bisa memandang dari jauh. Karena lahan kami sudah dipagar dan kami dilarang mendekat,” keluhnya.
Sebelumnya, setiap tahun Sutiman dkk juga taat membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Makanya dengan kejadian ini para petani inipun bingung harus mengadu kemana.
“Jelas kami sangat kehilangan, karena pengambilan lahan ini secara sepihak. Ganti rugi-nya tidak ada. Kami harus mengadu kemana?,” kata Sutiman.
Menurut Marthen, para petani juga kerap dihalang-halangi untuk memperjuangkan haknya. Padahal, selama kurang lebih dua tahun para petani tidak mempunyai penghasilan dan jadi pengangguran.
“Pengembang mengaku punya sertifikat. Tetapi sertifikat tersebut sudah di blokir BPN karena masih sengketa. Semestinya, pembangunan tersebut dihentikan dulu. Dan para petani diberikan haknya agar masalah ini tidak berlarut-larut,” tegas Marthen.
Perkembangan terakhir Sutiman dan petani lainnya telah mengajukan gugatan ke PN Jaktim, namun kemudian diarahkan ke PTUN.
‘Sudah kita ajukan gugatan ke PTUN, tetapi PTUN meminta agar proses hukum di PN Jaktim selesai dulu,” tambahnya.
Saat ini, menurut Marthen, para petani tak berharap banyak. Mereka hanya meminta pihak pengembang membayar ganti rugi atas haknya di lahan tersebut.
“Makanya, kami akan mengadukan masalah ini ke bapak Presiden. Harapannya para petani diberikan ganti rugi sesuai NJOP, dan pembangunan tidak dilanjutkan dulu sampai semuanya selesai. Kami yakin Pak Jokowi akan mendengar,” pungkasnya
Artikel ini ditulis oleh:
Eka