Dari kiri ke kanan, Moderator Frisca Clarisa, Tokoh Muda NU Zuhairi Misrawi, Direktur Voxpol Center Pangi Syarwi  Chaniago, Wasekjen DPP PPP Achmad Baidowi, Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing dan Direktur LSIN Yasin Mohammad saat menjadi pembicara dalam Diskusi Dialektika di Kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (11/2/18). Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei Independen Nusantara ini mengambil tema " Berebut Cawapres Jokowi : Peluang Koalisi Nasionalis-Santri". AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Tahun politik ini dikejutkan dengan keputusan berani Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menunjuk perwira tinggi (Pati) Polri, Komjen Iriawan sebagai Penjabat Gubernur (plt) di provinsi Jawa Barat, Mendagri diduga melanggar konstitusi dan terutama UU Pilkada.

Musibah terbesar atau ujian demokrasi kita adalah ketika Polri dan TNI dijadikan lapak, kembali menjadi rebut-rebutan politisi untuk menarik dua institusi tersebut ke gelanggang ranah politik praktis demi memenangkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu, roh dwifungsi menjadi hidup kembali, ini sangat berbahaya.

Mendagri diduga melanggar konstitusi dan menciderai UU Pilkada. Ketentuan UU Pilkada telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang bisa menjadi Penjabat Gubernur. Bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan  dengan pimpinan tinggi madya dan ini terkesan dipaksakan.

Mendagri diduga melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri, keputusan menteri yang mengejutkan yaitu Penjabat Gubernur dijabat perwira tinggi (pati) Polri. Pertanyaannya apakah memang betul tidak ada lagi pejabat karir dan profesional di Kemendagri dan pejabat tingkat provinsi mengisi posisi pos Penjabat Gubernur.

Dalam Permendagri Nomor 74 Tahun 2016, Pasal 4, Ayat 2, menyebutkan Penjabat Gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya kementerian dalam negeri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya jabatan pelaksana tugas atau penjabat Gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat (10) UU Pilkada.

Alasan Mendagri Tjahjo Kumolo sebelumnya menempatkan Pati Polri sebagai Penjabat Gubernur di Jawa Barat diperbolehkan, pertama karena pilkada serentak di 17 provinsi sehingga menyebabkan persediaan pejabat tinggi pimpinan madya di Kemendagri habis. Kedua, Jawa Barat merupakan daerah dengan jumlah pemilih terbesar di Jawa yang rawan konflik (chaos) sehingga menempatkan pati Polri sebagai Penjabat Gubernur merupakan pilihan terbaik.

Memang itu hak prerogatif dari Mendagri, namun jangan sampai terkesan pemerintah suka-suka dalam mengelola negara, dan dikelola secara amatiran. Mengelola negara harus berbasiskan koridor hukum dan sesuai aturan main konstitusi, bukan  regulasi yang dilanggar sesuka hati dan suka sukanya pemerintah.

Mengapa harus pati Polri menjadi Penjabat Gubernur di Jawa Barat? Apakah betul ngak ada lagi pejabat esolon di provinsi Jawa Barat, apakah betul tidak mencukupi? Mengapa harus pati Polri menjadi Penjabat Gubernur di Jawa Barat? Wajar banyak muncul pertanyaan yang mengandung unsur kecurigaan (seun seun) karena ada banyak keganjilan dalam pengangkatan Komjen Irawan tersebut.

Menurutnya jangan sampai terkesan Polri terjebak dalam politik praktis. Kecurigaan itu pantas dan saya kira wajar-wajar saja. Kita meminta agar TNI dan Polri netral sebagai prajurit aktif,  menjaga trayek (khitah) sebagai prajurit profesional bukan prajurit pretorian atau prajurit kuda besi.

Masyarakat meminta dan akan mengawasi agar TNI dan Polri tidak diseret-seret ke gelanggang ranah politik praktis, ini wajib untuk kita waspadai, sebab sudah ada sinyal dan koding dugaan ke arah sana, ada resiko yang tak main-main yaitu mengganggu kualitas demokrasi itu sendiri (fair play). Kita ingin memastikan jangan sampai demokrasi dan pilkada dibajak oleh oknum yang punya niat untuk curang dalam kontestasi elektoral Pilkada Serentak 2018. Sekali lagi, kalau lah polisi dan tentara sudah jadi rebutan lapak politisi, ini jelas membahayakan demokrasi kita.

Konsekuensi dihapusnya dwifungsi ABRI, memastikan netralitas polri yang bertanggungjawab terhadap keamanan negara. Reformasi yang telah berhasil memisahkan dan menjaga netralitas kedua institusi tersebut, jangan digoda-goda terjun ke politik praktis.

Para kontestan baik calon bupati, wali kota dan gubernur jangan salahkan mereka nanti menolak hasil proses pemilu karena tidak menjunjung semangat jujur dan adil (jurdil). Jangan paksa dan berharap mereka menerima hasil dengan legowo, apabila diduga ada yang ganjil dan tak beres dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018.

Bagaimana masyarakat tidak menaruh kecurigaan, ada yang tak lazim dan peristiwa langkah setelah reformasi bahwa Penjabat Gubernur dari pati Polri. Keanehan tersebut adalah Mendagri Tjahjo Kumolo yang merupakan kader PDIP dan PDIP mengusung calon kepala daerah di Jawa Barat dengan latar belakang TNI dan Polri.

Jangan sampai menghalalkan segala cara untuk memenangkan sebuah kontestasi elektoral pilkada dan melanggar regulasi serta fatsun politik. Jangan coba-coba kembali menarik-narik, main mata, atau menjadikan jaringan TNI dan Polri sebagai komoditas politik demi mendulang elektoral kemenangan.

Oleh: Pangi Syarwi Chaniago (Pengamat Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting).

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta