Jakarta, Aktual.com – Kecewa dan marah pada fakta endapan dana pemerintah daerah bernilai ratusan triliun rupiah memang tidak menyelesaikan masalah.
Namun, suara kekecewaan itu hendaknya memotivasi semua pemerintah daerah untuk segera lebih giat bekerja, dan memanfaatkan serta memproduktifkan dana yang mengendap itu untuk menggerakkan pemulihan ekonomi di daerahnya masing-masing.
Pandemi COVID-19 telah menghadirkan dampak buruk pada berbagai aspek kehidupan. Dampak buruk itu dirasakan semua orang, baik mereka yang kaya maupun mereka yang berkekurangan. Dampaknya terhadap aspek perekonomian, baik dalam skala negara, daerah, maupun dampaknya terhadap jutaan keluarga Indonesia, nyata dan dirasakan langsung selama hampir dua tahun belakangan ini.
Untuk mereduksi penderitaan serta ketidaknyamanan sebagian besar masyarakat, pemerintah telah merealisasikan sejumlah program jaring pengaman sosial. Ada program kartu pra-kerja, subsidi listrik, bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial tunai (BST), Bansos sembako, kartu sembako, program keluarga harapan (PKH) hingga subsidi internet bagi pelajar. Sebelum pandemi, program jaring pengaman sosial hanya ditargetkan bagi 20 persen penduduk yang dikategorikan miskin.
Namun, karena dampak buruk akibat pandemi melebar, cakupan atau warga penerima manfaat dari jaring pengaman sosial ditingkatkan hingga mencapai 50 persen dari total keluarga di Indonesia.
Untuk itulah pada tahun 2021 ini pemerintah mengalokasikan anggaran sampai Rp 744,75 triliun untuk penanganan dampak COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Dari total anggaran itu, sebanyak Rp 187 triliun dimanfaatkan untuk merealisasikan perlindungan atau jaring pengaman sosial. Dana penanganan dampak pandemi COVID-19 dan jaring pengaman sosial itu langsung ditransfer ke sejumlah kementerian dan lembaga (K/L) serta semua pemerintah daerah.
Bersama dengan realisasi anggaran PEN yang menyasar pelaku usaha menengah, kecil, dan mikro (UMKM) serta korporasi, alokasi anggaran untuk program perlindungan sosial seperti program kartu pra-kerja, subsidi listrik, BLT serta BST, termasuk insentif tenaga kesehatan (Nakes) bertujuan untuk menopang dan merawat kinerja ekonomi, utamanya pada aspek permintaan – penawaran atau konsumsi dan produksi.
Konsumsi masyarakat atau rumah tangga menjadi faktor paling signifikan yang memengaruhi dinamika dan pertumbuhan ekonomi nasional. Tinggi rendahnya konsumsi dipengaruhi oleh daya beli masyarakat.
Karena itu, program seperti BLT, BST, Kartu pra-kerja plus dukungan kepada UMKM dan korporasi bermakna strategis, yakni menggerakkan permintaan dan produksi. Ketika mesin pabrik mulai produktif lagi, komunitas pekerja pun kembali bekerja. Sebagaimana telah dipahami bersama, salah satu dampak paling nyata dari krisis kesehatan sekarang ini adalah ambruknya kinerja atau produktivitas mesin-mesin perekonomian.
Sangat disayangkan karena skenario merawat konsumsi dan produksi itu tidak berjalan dengan baik. Sebagian besar masyarakat terhenyak ketika menyimak berita tentang endapan dana pemerintah daerah di perbankan yang nilainya mencapai ratusan triliun rupiah.
Ketika dihadap-hadapkan pada keterpurukan ekonomi akibat krisis kesehatan sekarang ini, fakta endapan dana sebanyak itu menjadi sulit diterima akal sehat. Dan, menjadi semakin sulit untuk dipahami karena sebagian dari dana ratusan triliun rupiah itu dialokasikan untuk perlindungan sosial, insentif nakes serta penopang keberlangsungan UMKM di masa pandemi.
Endapan dana Pemda di perbankan bukan kasus baru, karena sudah sering dipersoalkan pada tahun-tahun terdahulu. Tetapi, ketika endapan dana itu masih terjadi sepanjang hampir dua tahu durasi pandemi, fakta ini menjadi penanda rendahnya sensitivitas aparatur pemerintah pada penderitaan dan ketidaknyamanan masyarakat akibat dampak buruk krisis kesehatan sekarang ini. Kalau pemanfaatan semua dana itu produktif di masa pandemi, dampak positifnya pasti bisa dirasakan dan dinikmati masyarakat.
Hingga 31 Agustus 2021, total anggaran pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang mengendap di bank mencapai Rp178,55 triliun. Artinya, ada potensi belanja pemerintah daerah yang begitu besar tetapi belum direalisasikan. Kalau potensi belanja sebesar itu bisa segera direalisasikan, dampaknya terhadap pemulihan ekonomi daerah cukup signifikan.
Saat melakukan kunjungan kerja ke Sumatera Utara belum lama ini, Presiden Joko Widodo mengingatkan para kepala daerah untuk segera mempercepat penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Dinamika perekonomian di masa pandemi sangat bergantung pada belanja pemerintah. Penyerapan anggaran yang cepat dan tepat waktu ikut memengaruhi volume peredaran uang di kabupaten/kota. Dampak positifnya sudah barang tentu ikut dinikmati masyarakat karena bergeraknya mesin-mesin perekonomian di daerah bersangkutan.
Dalam konteks ini, setiap Pemda disarankan untuk lebih menunjukan kepedulian pada realisasi anggaran daerah untuk bantuan sosial dan insentif usaha bagi warga terdampak COVID-19.
Hal ini penting dan perlu digarisbawahi oleh Pemda, karena realisasi dua mata anggaran itu belum menggembirakan. Ada anggaran daerah Rp12,11 triliun untuk perlindungan sosial, dan Rp13,35 triliun untuk pemberdayaan ekonomi. Pada Juli 2021, misalnya, realisasi anggaran perlindungan sosial baru mencapai Rp2,3 triliun atau 19,2 persen dari pagu. Dan, realisasi anggaran pemberdayaan ekonomi baru Rp2,4 triliun atau 17,8 persen dari pagu.
Masyarakat tentu sangat kecewa dan marah dengan fakta seperti ini. Namun, berdebat dan saling menyalahkan tidak akan menyelesaikan masalah utamanya, yakni mendorong pemulihan ekonomi daerah.
Kendati mungkin tidak tepat waktu, belum terlambat bagi semua Pemda untuk bekerja lebih giat lagi. Hampir Rp200 triliun dana Pemda yang tersimpan di bank itu harus dibuat produktif, dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga di daerah bersangkutan.
*) Bambang Soesatyo, Ketua MPR RI
[antara]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid