Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Celgor (Center for Local Government Reform) Budi Mulyawan mengatakan, mendukung Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sama saja mendukung rusaknya tata kenegaraan di Indonesia.

Menurut dia, ada empat aspek yang dirusak selama kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta.

Pertama, rusaknya aspek cita- cita Proklamasi untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan visi kemanusiaan. “Ahok tidak punya visi itu,” ucap Budi, saat dihubungi Aktual.com, di Jakarta, Senin (23/5).

Itu bisa terlihat dari sistem pendidikan di DKI yang tidak jelas pembangunannya, penggusuran warga miskin tanpa memberi solusi, dan semakin memarjinalkan penduduk Jakarta.

Kedua, Ahok bertentangan dengan Demokrasi Pancasila yang mengutamakan politik santun dan beradab untuk memelihara persatuan bangsa.

Sedangkan Ahok, kata dia, tidak melakukan kebijakan ke arah itu, tapi malah lakukan perpecahan. Ahok juga dianggapnya tidak bisa memberi contoh sebagai pemimpin yang baik dan benar.

Ketiga, Ahok merusak sistem administrasi negara. Dituturkan Budi, aspek itu bisa dilihat dari ‘kegemaran ‘Ahok’ mengacak-acak sistem keuangan negara. Dengan pembangunan di DKI yang dananya tidak bersumber dari APBD dan memilih menggunakan sumber-sumber lain hasil ‘malak’ korporasi. Misal lewat pungutan koefisien lantai bangunan (KLB), kewajiban tambahan pengembang reklamasi.

Ahok, ujar dia, melakukan semua itu tanpa berkonsultasi dengan DPRD DKI. Memungut dan menggunakan dana-dana swasta dengan membuat Peraturan Gubernur (Pergub). Alhasil, proyek yang digarap dan jumlah uang yang dikumpulkan pun hanya Ahok yang tahu, karena tidak diputuskan bersama DPRD.

“Ketika pakai sistem pergub, maka pembangunan di Jakarta jadi sangat subyektif menurut Ahok saja. Fungsi kontrol DPRD jadi lemah. Meskipun cara ini legal, tapi kalau semua Pemda pakai cara begini, hancur ini sistem administrasi negara,” ucap dia.

Diingatkan dia, pembangunan itu bukan asal cepat, tapi juga harus benar. Dan DPRD DKI, mau tidak mau adalah representasi rakyat Jakarta. Karena pembangunan harusnya demi kepentingan rakyat, maka dewan harus dilibatkan dalam pembangunan. “Ngga bisa main sendiri sebagai kepala daerah,” ucap dia.

Kalau pun alasan Ahok lalu lakukan itu karena menuding DPRD sarang korupsi, itu soal lain. “Korupsi bukan hanya terjadi di DPRD. Sekarang KPK saja bisa diindikasikan sarang korup. Itu bukan alasan untuk menihilkan sistem politik di Indonesia,” ucap dia.

Keempat, Ahok merusak sistem tata negara. Salah satu indikatornya, Ahok kerap membuat penafsiran hukum sendiri. Misal dengan menyebut BPK salah di urusan Sumber Waras. Lalu kasus terbaru, Ahok lakukan pembenaran dengan istilah ‘diskresi’ untuk memungut kontribusi tambahan dari pengembang di proyek reklamasi.

“Membuat perjanjian sendiri tanpa payung hukum yang jelas dengan alasan gubernur punya hak diskresi, masa kepala daerah bisa lakukan hal begini? Bisa bubar negara ini kalau semua meniru Ahok, semua dengan pembenaran diskresi nantinya,” ujar dia.

Artikel ini ditulis oleh: