Jakarta, Aktual.com – Kasus jual beli lahan RS Sumber Waras tidak melulu terkait hukum. Tapi juga tentang kekhawatiran penghilangan sejarah panjang kegiatan kemanusiaan warga Tionghoa di Jakarta di bidang kesehatan yang berlangsung sejak lama.

Sebuah usaha yang dibangun para tetua Tionghoa di Jakarta di jaman revolusi kemerdekaan, yang enggan terlibat dengan politik, namun getol dengan kemanusiaan.

Ya, mereka tergabung di Perhimpunan Sosial Sing Ming Hui yang kelak berubah nama jadi Candra Naya. Anggotanya beragam, mulai dokter hingga wartawan. Sebuah perkumpulan yang sejak awal sudah ‘nekat’ mewakafkan hidupnya untuk masyarakat, melalui pelayanan kesehatan dan kegiatan lainnya.

Sepotong cerita tentang sepak terjang Cadra Naya di bidang kesehatan bagi warga Jakarta, dituturkan seorang kakek bernama Dokter Lukman.

Tutur kata pria kelahiran 1944 itu masih lancar, sorot matanya masih terang, daya ingatnya pun masih kuat saat bercerita panjang lebar tentang sepotong masa hidupnya
yang dihabiskan untuk mengabdikan ilmunya untuk melayani masyarakat.

“Saya bukan anggota Candra Naya,” begitu kalimat pembuka darinya saat berbincang dengan Aktual.com, beberapa waktu lalu.

Meski bukan anggota perkumpulan Candra Naya, namun Lukman mengabdikan ilmunya di sebuah Balai Kesehatan Candra Naya di bilangan Jatinegara, Jakarta Timur.

Di tahun 1971, dua tahun sejak lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) tahun 1969, Lukman muda bergabung di Balai Kesehatan Candra Naya di bilangan Jatinegara. Siapa nyana, dokter umum itu ternyata bakal mengabdi di hingga 21 tahun atau bisa dibilang sepanjang karirnya.

Lukman masih ingat betul gajinya saat itu kurang dari Rp100 ribu. Angka nominal yang tidak banyak berubah hingga dia selesai mengabdi tahun 1992. “Di tahun terakhir saya di balai pengobatan itu, gaji saya cuma Rp120 ribu,” tutur dia.

Seingat Lukman, bukan hanya dia yang tidak memerdulikan soal nominal pendapatan saat mengabdi di balai pengobatan kecil sekelas puskesmas itu. “Kebanyakan yang kerja di situ seperti orang gila saja,” ujarnya sambil terkekeh. Mereka, kata Lukman, lebih banyak berjibaku untuk memberi pelayanan ke masyarakat ketimbang meributkan soal minimnya penghasilan.

Salah satu jebolan balai pengobatan itu, kata Lukman adalah Dokter Warsa yang bekerja di bagian laboratorium. “Anak Pak Warsa ini namanya Profesor Usman Khatib Warsa yang
menjadi Rektor UI tahun 2002-2007. Tentu Pak Usman bisa cerita banyak tentang para pengabdi kesehatan Balai Pengobatan Candra Naya,” kata dia.

Kata Lukman, saat itu dirinya biasa dapat jadwal untuk praktik pagi hari, lalu dilanjut dokter lainnya. Pasien di Balai Pengobatan Candra Naya pun bukan warga Tionghoa.
Kebanyakan adalah warga sekitar dari kalangan menengah ke bawah.

Biaya pengobatan yang murah dan dokter yang berdedikasi, membuat warga yang kurang mampu berbondong berobat ke sana. “Keberadaan balai pengobatan itu sangat menolong
warga,” kata dia.

Mendung mulai menyambangi Candra Naya

Gempita cerita Lukman mendadak berubah saat Aktual.com menanyakan pendapatnya mengenai kisruh jual beli lahan milik Candra Naya di daerah Tomang yang membuat Ketua
Candra Naya saat ini, I Wayan dijebloskan ke penjara Cipinang.

Seperti diketahui, Wayah diojeblokaskan ke penjara akibat dituduh pimpinan Yayasan Kesehatan Sumber Waras Kartini Muljadi telah menggelapkan sertifikat tanah Sumber
Waras.

Dengan nada lirih, Lukman berpendapat dijebloskannya Wayan sangat tidak pantas.

Nada suaranya pun terdengar semakin lirih saat diminta tanggapannya soal Kartini dan Jan Darmadi yang kemudian menjual aset Candra Naya ke Pemprov DKI melalui Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Menurut Lukman, kiprah Candra Naya di bidang kesehatan sangat jauh dari tujuan komersil. Sedangkan apa yang dilakukan Kartini malah menjadikan aset Candra Naya seperti barang dagangan untuk diperjualbelikan seakan milik pribadi.

“Saya pikir tidak pantas. Itu kan perkumpulan sudah lama dari tahun 1946. Orang Tionghoa di Jakarta yang sudah lanjut usia juga tau kalau aset itu panjang sejarahnya untuk kemanusiaan dan bukan untuk diperjualbelikan atau dikomersilkan,” kata dia.

Dengan diperjualbelikannya lahan milik Candra Naya, kata Lukman, ketiga orang itu (Kartini-Jan Darmadi-Ahok) seperti menghapus sejarah pengabdian warga Tionghoa di bidang kesehatan untuk masyarakat.

“Saya tidak menghendaki orang Tionghoa WNI dicap hanya melulu mencari uang,” ujar dia, sambil sesekali menarik napas.

Kalaupun tujuan dijualnya aset Candra Naya untuk dibuat rumah sakit lagi oleh Ahok, kata Lukman, bukan begitu caranya. “Dia (Ahok) hilangkan sejarah kerukunan warga Tionghoa dan warga Jakarta dengan cara seperti itu,” ujar dia.

Lanjut dia, “Menyedihkan buat saya jelas. Karena itu saya melawan Ahok. Karena tidak pantas dia melakukan itu,” ujar dia.

Ahok dianggapnya seperti tidak menghargai usaha yang benar benar sosial yang sudah berdiri sejak puluhan tahun oleh orang orang Tionghoa WNI. “Di mana nurani Ahok?” kata
dia.

Memang, Lukman mengaku belum pernah mengutarakan kegundahan hatinya ke Ahok langsung. Namun dia mengaku sudah pernah mengirim pesan pendek ke adik Ahok, Basuri Tjahaja Purnama.

“Saya pernah SMS ke Basuri soal itu. Dia (Basuri) bilang tidak dibeli semua karena dua sertifikat kan. Jadi yang satu lagi masih bsia dipakai atas nama Candra Naya. Tapi saya
tidak percaya. Belakangan terbukti Ahok mau beli seluruhnya. Karena kalau hanya beli separo, bagaimana dia bisa masuk akses rumah sakit yang mau dibangun,” tutur
Lukman.

Lukman yakin, jika semua aset Candra Naya dijual semua, maka habislah semua sejarah tentang pengabdian kesehatan pada masyarakat yang digagas para pendiri Sing Ming Hui
dulu. “Ini yang luar biasa. Karena itu saya menentang Ahok,” tutur dia dengan nada geram. Sambung dia, “Sangat tidak menyenangkan Sumber Waras nasibnya jadi seperti ini. Sangat miris ketika kenangan-kenangan saya akan pengabdian Candra Naya seperti terhapus. Karena itu saya harus melawan Ahok,” kata dia.

Artikel ini ditulis oleh: