Sedangkan juara 3 diraih Cerpen “Litografi” karya Rahmad Sudirman. Jurnalis yang pernah menjuarai Krakatau Award 2017 ini menyoal silsilah keadatan dan tradisi masyarakat Lampung masa kini, seperti menulis di tempat yang licin.

Para kurator juga memilih 10 cerpen nominasi tanpa ranking. Sebanyak 10 cerpen tersebut adalah “Bediom” karya Heny Sulistiyani, “Sebagai Duyung Saat Berdomisili di Gunung Krakatau” (Rahmat Ali), “Jalan Bengkunat (Rizki Andika), “Gadis Sukamenanti” (Sulis Setia Markhamah), “Suara dari Menara Siger” (Sammad Hasibuan), “Hakikat Sekura” (Wi Noya), “Bunga Kopi dalam Tapis Penagantin” (Rama Safra), “Di Kaki Gunung Pesagi” (Handry TM), “Rumah Kita” (Roni Tabroni), dan “Rindu Tak Berujung di Tanjung Setia” (Nur Haidi).

Cerpen “Bukan Sebambangan” mengisahkan tentang perkawinan yang mengatasnamakan kawin lari (Sebambangan) bagi masyarakat adat Lampung. Bukan Sebambangan yang pernah terjadi di Lampung Timur, juga di masyarakat Lampung di Lampung Utara yang dikenal meramut/ngeramut, menjadi kritik dalam cerpen ini.

Rilda menyorot soal negatif dari ngeramut tersebut, karena “menggelapkan” nasib masa depan perempuan, sebab “bukan” Sebambangan, lebih cenderung melarikan (meramut) anak gadis orang dengan atas nama Sebambangan.

Kepala Bidang Kelembagaan Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Linda Libiyanti Sumadewi menjelaskan, Krakatau Award selain sebagai bentuk sosialisasi, juga untuk membangun apresiasi masyrakat terhadap pariwisata dan seni budaya daerah Lampung.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid