Yanusa Nugroho mewakili dewan kurator menjelaskan, menulis cerita untuk sebuah lomba atau apa pun yang bertolak pada tema tertentu, ada begitu banyak kendala, misalnya jika itu menyangkut adat-istiadat, maka kita tak bisa hanya mengetahui lewat bacaan semata; tanpa bertanya pada para pemangkunya. Jika hal ini dipaksakan, maka kisah yang kita paparkan terasa mengada-ada.

“Inilah yang umumnya muncul pada naskah-naskah yang saya baca pada Krakatau Award 2018. Tentu jika saya tuliskan umumnya, itu pun berdasarkan dugaan saya semata; karena persoalan tradisi/adat/kebiasaan sangatlah beragam di negeri kita ini.

Umumnya, peserta seolah meletakkan adat sebagai latar semata dan menyebutkan katakanlah Nemui Nyimah sebagai sebingkai foto bunga di ruang tamu kita. ‘Mutiara’ adat ini tidak muncul sebagai fokus pengisahan, tetapi sekadar ada, bahkan sekadar disebutkan saja,” ujar sastrawan asal Jakarta yang karya-karyanya kerap dimuat Kompas dan media cetak lain serta sejumlah buku cerpen/novel tunggal.

Akan tetapi, tiga naskah yang akhirnya diputuskan sebagai terbaik, ternyata menang, menurut dia, tampaknya ditulis dengan ‘riset’ yang cukup baik; bahkan dari sisi pengisahan, layak disebut cerita pendek.

Pada ‘Bukan Sebambangan’ misalnya, gambaran perempuan yang memegang sabit, dengan kegeramannya, dan sebagainya, muncul sebagai sosok yang hidup, katanya lagi.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid