Senada dengan Martinus, perwakilan karyawan PTFI Friedrich Pagai mempertanyakan urgensi dari IUPK. Ia juga mempertanyakan pemerintah terkait posisi Undang-undang yang mengatur hajat hidup orang banyak.
“Kami ini rakyat, pemerintah katanya bikin UU untuk rakyat, itu rakyatnya yang mana? Negara seolah bikin UU untuk rakyat tapi rakyat yang mana? Apa negara hadir? Tiba-tiba bilang IUPK segala macam-macam. Harusnya tanya dulu IUPK penting enggak, untung nya apa? Ini main IUPK aja,” tegas dia.
GSPF berharap dalam 120 hari kedepan masyarakat Papua sudah mendapat kepastian soal kelanjutan Freeport. Mereka ingin lembaga perwakilan rakyat menyampaikan kepada pemerintah supaya kelangsungan Freeport dan pekerja segera dapat diperjelas.
“Jangan sampai kita menciptakan sejarah bahwa Papua adalah bagian dari NKRI,” cetus Virgo Salosa.
Diketahui, Perusahaan pertambangan Amerika Freeport-McMoRan telah menghentikan operasi tambang emas terbesar di dunia yang terletak di provinsi Papua. Perusahaan itu tengah bersitegang dengan pemerintah Indonesia atas aturan-aturan pertambangan.
Ketika Freeport mulai memberhentikan puluhan ribu pekerja, ekonomi setempat paling terkena imbasnya. Di Mimika, provinsi Papua di mana terdapat tambang Grasberg, 91% pendapatan kotor berasal dari Freeport.
Freeport Indonesia secara tiba-tiba menghentikan produksi pada 10 Februari lalu dan memberhentikan 10% pekerja asingnya. Freeport mempekerjakan 32 ribu orang di Indonesia, di mana 12 ribu diantaranya adalah pekerja tetap.
(Reporter: Nailin)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka