Jakarta, Aktual.com – Ekonom senior dan sekaligus pendiri Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini menyebut data produksi dan konsumsi beras selama ini tak mencerminkan data yang sesungguhnya. Sehingga kondisi beras yang katanya surplus itu tak mencerminkan situasi kesejahteraan petani.
“Karena selama ini, kita dalam belasan tahun itu ditipu oleh BPS (Badan Pusat Statistik) dalam statistik angka-angka itu. Makanya yang bertanggungjawab di sektor perberasan ya itu datanya yang tak jelas,” tandas Didik di sela-sela diskusi Menuju Ketahanan Ekonomi Indonesia, di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (4/4).
Menurutnya, selama ini Wakil Presiden Jusuf Kalla selalu membanggakan soal prosuksi dan konsumsi beras, sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus mengurangi ketimpangan.
“Tapi karena datanya tak betul ya susah. Yang ada petani jauh dari sejahtera. Sekaligus Pak Presiden sering blusukan, tetap saja kebijakannya juga tak mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang sehat dengan salah satunya menyejahterakan petani,” papar Didik.
Di tempat yang sama, ekonom senior Indef, Bustanul Arifin menyebut, soal data perberasan, BPS sendiri hanya merilis data per 2015. Selama ini, BPS selalu menyebut, produksi padi, jagung, dan kedelai meningkat signifikan. Tapi metode surveynya sekarang diragukan. “Kini BPS sedang memperbaikinya,” sebut dia.
Menurut guru besar Universitas Lampung itu, data BPS 2015 produksi padi disebutkan mencapai 75,4 juta ton gabah atau 43 juta ton beras, dengan konversi 0,57.
“Jadi, jika konsumsi padi capai 114 kg per kapita, total konsumsi berasnya mencapai 31 juta ton. Maka secara teori itu mengalami surplus. Lantas mengapasi harga beras naik? Itu yang kita pertanyakan ke pemerintah. Bahkan impor beras juga tinggi,” papar dia.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan