Jakarta, Aktual.com — Belum juga kita dalam kecepatan penuh menjalani kehidupan awal 2016, Indonesia sudah terancam dihempas resesi ekonomi dunia. Itu ditandai dengan devaluasi Yuan, menukiknya harga minyak yang mungkin akan mencapai di bawah 20 dolar AS per barel, dan koreksi Bank Dunia atas pertumbuhan ekonomi dunia dari 3,3 persen menjadi 2,9 persen.

Yuan lagi-lagi devaluasi karena masalah harga minyak dunia yang jatuh dan melorotnya harga saham. Harga minyak menukik karena Amerika Serikat sukses mengekplorasi miyak dan oil shale, suatu teknologi yang perangkatnya cukup diangkut dengan mobil pick-up. Ini mengakibatkan biaya produksi minyak mentah menukik luar biasa.

Negara manapun yang mengeluarkan biaya produksi minyak mentah (crude oil) di atas 20 dolar AS per barel, akan terpukul karena biaya teknologi untuk eksplorasi minyak dan oil shale di bawah 4 dolar AS per barel. Saat yang sama, dengan menyebar luaskan penggunaan pembangkit listrik bertenaga matahari, solar panel, dan angin, AS telah berhasil mengkonversi penggunaan energi fosil ke tenaga matahari untuk listrik sebesar 6 juta barel perhari.

Ini semua di luar dugaan masyarakat dunia. Awalnya kalangan ahli teknologi perminyakan menduga penggunaan teknologi untuk shale, baru akan mencuat pada 2016. Kenyataannya justru lebih cepat. Demikian juga dengan penggunaan energi baru terbarukan (renewable energy).

Hillary Clinton dari Partai Demokrat dalam kampanye Pilpres 2016, sejak medio 2015 selalu membawa isu pentingnya energi surya dan angin. Presiden AS Obama pun menerapkannya melalui kampanye perubahan iklim global dengan membuat perjanjian penggunaan energi global yang bersih bersama RRC. Jerman, Jepang, RRC, India mengikuti jejak penggunaan energi terbarukan ini. Akibatnya, seperti yang kita saksikan sekarang, harga minyak dunia menukik.

Direktur Eksekutif IMF Christine Lagard memperkirakan, harga minyak dunia berfluktuasi antara 5-15 dolar per barel. Menyusul kemudian Bank Dunia yang mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi di seluruh belahan dunia.

Ini berarti, perang harga minyak akan berlanjut. Memperhatikan fluktuasi harga minyak sejak OPEC berdiri tahun 1960, tidak ada perubahan harga itu tidak berhubungan dengan peristiwa politik. Atas dasar itulah sejak 14 Juli 2008 saat harga minyak dunia mencapai 147 dolar AS per barel, saya menyampaikan bahwa harga minyak akan tetap menjadi salah satu senjata perang ekonomi.

Henry Kissinger mengatakan, jika ingin mengendalikan suatu negara, kendalikan energinya. Perang harga minyak ini juga beriringan dengan perang nilai tukar kendati Yuan sudah menjadi bagian Special Drawing Right (mata uang IMF) dengan bobot 10,11 persen. Maka saat dua lembaga multi lateral itu mengumumkan proyeksinya, saya berkomentar di lingkungan wartawan senior, “Amerika sedang memukul telak musuh-musuhnya dengan tujuan dominasi ekonominya tidak tergoyahkan”.

Dalam ekonomi internasional, selain nilai tukar dan komoditas seperti minyak, ada dua variabel lain, yakni suku bunga dan inflasi sebagai faktor yang harus diperhitungkan dengan seksama. Oleh AS, soal suku bunga dan inflasipun dimanfaatkan sebagaimana terbukti dunia menanti-nanti kebijakan the Fed untuk kenaikan bunga bank sentral AS (fed fund rate). Sementara inflasi akan mengekor melalui salah satu atau kumulasi dari tiga hal itu yang akibatnya adalah kenaikan harga-harga bagi negara yang memiliki ketergantungan impor untuk memenuhi kebutuhan pasar domestiknya.

Konstruksi ini menunjukkan, AS sebagai “penguasa ekonomi dunia” tidak ingin bernasib seperti Jepang yang ekonominya disalib oleh RRC dari segi volume (PDB) dan daya tawar. Selain mengguncang RRC, AS bahkan juga “memukul” Rusia, Arab Saudi, Venezuela, dan Brazil. Atau menghentak “saudaranya” sendiri, seperti Kanada, Australia dan Inggris, bahkan menyentil sahabat dekatnya, Singapura dan Korea Selatan. Ini terlihat pada indeks persaingan global dan indeks kreativitas global yang dirilis WEF.

Dalam bahasa yang lain, AS nyaris menggunakan kekuatan penuh guna memenangkan perang ekonomi sejak 2009 hingga saat ini. Tekad ini lagi-lagi tersurat dalam National Security Strategy of USA yang ditandatangani Presiden AS Obama pada Februari 2015. Dalam dokumen itu, AS menyatakan bahwa ekonomi AS adalah mesin pertumbuhan ekonomi dunia dan sekaligus merupakan sumber stabilitas perekonomian global.

Artinya, jika kepentingan ekonomi politik dan militer AS terganggu, maka AS mampu melakukan penurunan putaran mesin ekonomi dunia sekaligus membuat ketidakstabilan ekonomi belahan negara manapun. Yang tidak habis pikir, tiba-tiba Korea Utara mengumumkan kepemilikan bom atom yang didahului dengan peluncuran Satelit RRC ke orbit untuk berbagai kepentingan.

Seperti saya rilis sejak 2009, hampir semua dimensi kehidupan manusia di dunia masuk dalam ajang pertarungan berpijak pada keserakahan dan tekad menjadi dominan. Bagi Stiglitz, Krugman, PA Diamond, dan T Piketty, hal itu akan melemahkan perekonomian itu sendiri sehingga berbuah ketimpangan di semua dimensi kehidupan (Lihat kajian Universitas Stanford terakhir, 20 jenis ketimpangan di AS).

Bagi Indonesia yang dari segi PDB berada di ekor G-20, sebenarnya bisa mempengaruhi situasi global, minimal regional. Ibarat ekor binatang-binatang buas bertenaga, Indonesia mampu mempengaruhi kekuatan “binatang” itu untuk bertahan dan memenangkan pertarungan dari situasi “survival of the fittest”, siapa yang unggul, dialah yang bertahan.

Caranya bukan dengan menempatkan diri sebagai obyek, tapi sebagai subyek-obyek, obyek-subyek. Saya menyebut posisi ini sebagai close-open circuit system. Dengan posisi ini, darah (sebagai kata ganti uang, atau utang luar negeri) tidak boleh dipasok dari pihak luar. Darah harus mengalir karena kerja otot dan syaraf sehingga melahirkan ketahanan dan pertahanan diri. Artinya, tidak semua sektor harus terbuka, tidak semua sektor harus tertutup.

Analisis strategis-lah yang menentukan kebijakan untuk terbuka-tertutup, tertutup-terbuka. Dalam Perspektif ini, Indonesia harus mendayagunakan kelebihannya pada letak geografi untuk geopolitik ekonomi (termasuk garis pantai kedua di dunia), luas wilayah, jumlah penduduk, dan kekayaan sumberdaya alam. Mengabaikan kelebihan hal ini, akan memosisikan Indonesia sebagai obyek dari pergumulan ekonomi global tak berkesudahan.

Pergumulan itu menempatkan kerjasama ekonomi bukanlah variabel yang sama dan sebangun dengan persaingan itu sendiri. Pesannya adalah, setiap negara (atau pribadi atau badan usaha) yang fundamental ekonomi makronya rapuh, pasti akan menjadi korban perang ekonomi itu. Secara sistemik berarti ancaman resesi 2016 akan menahan laju pertumbuhan ekonomi, menyurutkan putaran mesin perekonomian, dan memukul daya beli masyarakat.

Situasi inilah yang mendorong saya untuk memperbaiki proyeksi pertumbuhan ekonomi 2016. Di hadapan Komisi XI DPR-RI dan Komite IV DPD-RI saat merespon RAPBN 2016 dan Nota Keuangan, saya memproyeksi pertumbuhan ekonomi 2016 berkisar 4,8-5,2 persen. Dengan kondisi internal yang efektivitas kebijakannya agak lemah, kini saya memroyeksi 4,8-5,0 persen. Karenanya upaya mengatasi 11,2 persen kemiskinan, penurunan pengangguran menjadi 5,9 persen, dan menurunkan rasio ketimpangan (Gini rasio) menjadi di bawah 0,432 menghadapi tantangan berat.

Apalagi pasar domestik bakal lebih seru diserang karena efektifnya MEA yang berarti soko guru perekonomian bangsa (UMKM dan Koperasi) juga akan ketat bersaing dengan UMKM negara tetangga. Jika masyarakat tidak boleh manja, saya setuju. Tapi, di mana peranan negara dalam rangka memenuhi amanat Alinea IV Kata Pembukaan UUD 1945, saya belum bisa menjawabnya. Uraian di atas adalah bentuk kewaspadaan yang mesti dibangun bangsa Indonesia guna tegaknya kedaulatan ekonomi negara.

Oleh: Dr Ichsanuddin Noorsy BSc., SH., MSi

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Arbie Marwan