Yogyakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan tidak terintervensi oleh pemegang saham terbesar di partai-partai politik yang tersangkut korupsi mega proyek Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP).

“Kalau mereka punya keberanian dan independensi maka sudah seharusnya tidak mau diintervensi, tapi kalau mereka selesai dalam negosiasi politik ya makin suramlah pemberantasan korupsi di Indonesia,” ujar pengamat Sosio-politik UMY, Zuly Qodir, Jumat (10/3).

Menurut dia, agak sulit mengatakan pertemuan SBY dan Presiden Jokowi kemarin tanpa menaruh kecurigaan ini dan itu, mungkin memang ada deal-deal yang tersimpan diantara keduanya.

Termasuk perihal KPK yang baru membuka kasus e-KTP meski persoalan hukumnya sudah muncul sejak era SBY. Zuly menganggap ini wajar, sebab pendekatan hukum beda dengan pendekatan sosiologi politik.

“Hampir semua persoalan hukum di Indonesia jadi persoalan politik juga. Jangankan berselang setahun dua tahun, lima tahun lebih pun bisa. Banyak orang yang dipersoalkan, beberapa tahun kemudian baru dipenjara, itu karena urusan politik yang mengitari hukum itu sendiri,” paparnya.

Bila betul apa yang dilakukan pemerintahan Jokowi lewat KPK adalah pembersihan korupsi di parlemen, maka kata Zuly lakukan terus jangan lagi tebang pilih seperti mega skandal BLBI dan Century.

Jokowi dan KPK diminta tidak usah takut dengan beragam ancaman dari pemilik saham politik, orang-orang di luar parlemen lebih banyak yang mendukung penegakan hukum yang adil. “Rakyat pasti mendukung,” tegasnya.

Senada, Wakil Direktur lembaga pendidikan politik Satunama, Insan Kamil, juga meminta KPK lebih berani menyelesaikan kasus ini meski nanti sampai pada tataran pimpinan parpol.

“Kasus e-KTP dan Century itu kan terjadi pada era SBY. Saya kira SBY bisa dimintai keterangan oleh KPK. Begitu juga kasus BLBI, KPK tidak perlu ragu memanggil Megawati,” cetusnya.

Dia pun menyoroti persoalan integritas politisi. Menurutnya kasus-kasus korupsi perlu didekati secara sistem. Ongkos demokrasi yang sangat besar lantaran tarung bebas jadi pemicu perilaku korup para politisi Indonesia.

“KPK juga harus membuktikan bahwa mereka bukan alat kekuasaan,” pungkasnya.

(Laporan: Nelson Nafis)

Artikel ini ditulis oleh:

Nelson Nafis
Andy Abdul Hamid