Antara Jasa dan Dosa
Menanggapi wacana apakah Soeharto layak diberi gelar Pahlawan Nasional, Denny JA menekankan pentingnya membaca sejarah secara utuh, bukan hitam putih.
“Pak Harto punya jasa besar, menstabilkan ekonomi pasca-hiperinflasi, memperkuat pembangunan, dan mengentaskan jutaan orang dari kemiskinan.
Tapi sejarah juga mencatat sisi gelapnya: represi politik, pelanggaran HAM, dan praktik KKN yang mengakar,” jelas Denny.
Menurutnya, penghargaan pahlawan nasional, jika kelak diberikan, bukanlah bentuk pemutihan kesalahan, melainkan pengakuan atas paradoks manusia.
“Kita bisa berterima kasih atas jembatan yang menolong banyak orang menyeberang, sambil tetap mencatat retakannya di hilir sejarah,” ujar Denny dengan nada reflektif.
Menilai Sejarah Tanpa Kacamata Bias
“Ketika kita menilai Soeharto tanpa kacamata merah muda, dunia tampak lebih kontras: terang dan gelap berdampingan sebagaimana adanya,” kata Denny JA.
“Ia bukan malaikat yang tak pernah salah, tetapi juga bukan bayangan yang tak punya jasa.”
Denny menutup refleksinya dengan kalimat yang kontemplatif:
“Sejarah bukan album potret berisi gambar terbaik. Ia adalah film panjang: cahaya dan bayangan, tawa dan tangis, salah dan betul, berkejaran di layar yang sama.”
Menurutnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang tanpa dosa, melainkan bangsa yang mampu menatap masa lalunya dengan jujur.
Lalu, ia mengakui luka, menghargai jasa, dan melangkah maju dengan kebijaksanaan sejarahnya sendiri.
Lebih dari sekadar angka survei, temuan ini mencerminkan dialog batin bangsa terhadap sosok kepemimpinan ideal.
Di tengah gejolak zaman, publik tampaknya mendamba keseimbangan antara ketegasan, keadilan, dan empati.
Dalam cermin sejarah itu, nama Soeharto hadir bukan sekadar nostalgia, tetapi perenungan atas arah Indonesia ke depan.














