Perumusan Pancasila

Perumusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei-1 Juni 1945). BPUPK sendiri dibentuk pemerintah pendudukan Jepang pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso pada 7 September 1944, yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia akan diberi kemerdekaan “pada masa depan.” Dalam rancangan awal Jepang, kemerdekaan akan diberikan melalui dua tahap: pertama melalui BPUPK kemudian disusul pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sedangkan tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI.   

Jumlah keanggotaan Badan Oentoek Menyelidiki Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang.  Jepang membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan: golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan golongan peranakan: peranakan Tionghoa (4 orang), peranakan Arab (1 orang), dan peranakan Belanda (1 orang). Tidak semua anggota BPUPK terdiri dari kaum pria, ada dua orang perempuan (Nyonya Maria Ulfa Santoso dan Nyonya RSS Soenarjo Mangoenpoespito).  Karena itu, istilah founding fathers tidaklah tepat. Alhasil, meskipun struktur keanggotaan BPUPK tidak memuaskan semua kalangan, unsur-unsur perwakilannya cukup merepresentasikan keragaman golongan sosial-politik di Indonesia masa itu.    

Pada awal persidangan, 29 Mei 1945, Ketua BPUPK Radjiman Wedyodiningrat mengajukan pertanyaan mengenai dasar negara Indonesia merdeka. “Kita ingin mendirikan negara Indonesia merdeka. Dasarnya apa? Pertanyaan Radjiman mengenai dasar negara itu direspon oleh peserta sidang dengan beragam pandangan.  Ada yang memahami “dasar negara” itu sebagai dasar yuridis seperti yang dipahami oleh Soepomo; ada pula yang memahaminya sebagai dasar politis, sosiologis-kultural, seperti dipahami oleh Mohammad Yamin.

Alhasil, konsepsi tentang dasar negara yang diajukan oleh para peserta sidang itu belum dirumuskan secara holistik dan sistematik sebagai suatu dasar negara yang koheren. Muhammad Yamin dan Soepomo barangkali agak mendekati apa yang diminta oleh Radjiman. Secara eksplisit atau implisit Yamin dan Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan.

Masalahnya, dalam kategorisasi yang dikemukakan oleh Yamin, tidak semua prinsip itu dia masukkan sebagai dasar negara. Dalam kategorisasinya, “permusyawaratan”, “perwakilan”, dan “kebijaksanaan” (“rasionalisme”) disebut sebagai “dasar” (“dasar yang tiga”). Sementara itu, “kebangsaan”, “kemanusiaan” dan “kesejahteraan” disebut sebagai “azas”. Di bagian lain, “perwakilan” digolongkan sebagai “faham”. Sedangkan “kerakhmatan Tuhan”, tidak jelas kemana dia golongkan. Selain itu, Yamin juga dalam uraiannya sering mencampuradukkan antara “dasar negara” dan “bentuk negara”.

Bahkan yang dimaksud Yamin dengan “Dasar Negara” juga termasuk “pembelaan negara”, “budi-pekerti negara”, “daerah negara”, “penduduk dan putera negara”, “susunan pemerintahan” dan bahkan tentang “hak tanah”. Adapun dalam pernyataan Soepomo, prinsip-prinsip itu hanya disebutkan secara implisit dalam uraiannya mengenai aliran pikiran negara integralistik. Ketika dia menyebut istilah “dasar”, yang dimaksudkannya malah dalam konteks bahwa “negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (Staatsidée) negara yang integralistik, juga dalam konteks “dasar” kewarganegaraan” dan “dasar” sistem pemerintahan. Alhasil, yang dimaksud dasar (dasar negara) oleh Yamin dan Soepomo bukanlah dalam pengertian “dasar falsafah” (philosophische gronslag).

Bagaimanapun juga, pandangan-pandangan tersebut menjadi masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya. Masukan-masukan tersebut dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologis yang dikembangkannya sejak 1920-an dan refleksi historisnya yang mengkristal dalam pidato yang diucapkannya pada 1 Juni 1945. Dalam pidato monumental itu Soekarno menjawab permintaan Radjiman Wediodiningrat akan dasar negara Indonesia dalam kerangka “dasar falsafah” (Philosophische Grondslag) atau “pandangan dunia” (Weltanschauung) dengan penjelasan yang runtut, solid dan koheren.

Soekarno mengawali pidatonya dengan menyerukan,  “Bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham”:
 “Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu ‘Weltanschauung’ yang kita semuanya setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari satu modus.”
Bersambung…

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual