Relevansi Pancasila
Penguatan ideologi Pancasila kian relevan seiring dengan intensifikasi arus globalisasi. Di satu sisi globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan-tantangan global. Dalam situasi kesalingtergantungan, tidak ada negara yang bisa mengisolasi dirinya. Kelemahan suatu elemen negara terhadap penetrasi kekuatan global ini bisa melumpuhkan dirinya. Gelombang pasang arus globalisasi ini membawa penunggang gelap berupa penetrasi kekuatan fundamentalisme pasar dan fundamentalisme agama.
Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan ke arah desentralisasi dan otonomisasi. Negara-bangsa menjadi dirasa terlalu besar untuk menyelesaikan renik-renik masalah di tingkal lokal, yang menyulut merebaknya etno-nasionalisme dan tuntutan otonomi lokal beriringan dengan revivalisme identitas-indentitas kultural. Dalam planet bumi yang dirasa kian ”mengecil”, jumlah negara bangsa justru kian bertambah. Antara 1960 dan 2006, anggota PBB bertambah hampir dua kali lipat dari 99 menjadi 192, dengan pertambahan cepat terjadi menyusul kehancuran Blok-Timur (antara 1992-2006 terjadi penambahan sekitar 13 anggota baru). Seiring dengan itu, antara 1975 dan 2002, lebih dari 60 (asosiasi) kebangsaan diterima sebagai anggota baru Federation of International Football Association (FIFA). Bagi Indonesia sendiri, tekanan globalisasi yang bertaut dengan demokratisasi ini mendorong otonomisasi daerah dan pemekaran wilayah disertai kecenderungan revivalisme etno-religius.
Dengan posisi awal setiap bangsa dan konsekuensinya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak ”yang menang” (winners) dan ”yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007: 3). Selain itu, kecenderungan negara-negara terbelakang untuk terjerat utang luar negeri, korupsi dan lemah dalam kontrol regulasi memudahkan penetrasi korporasi-korporasi internasional (dengan jejak rekam yang buruk dalam soal lingkungan) untuk merelokasi usahanya ke negara-negara tersebut. Akibatnya, globalisasi bukan saja menimbulkan ”global village” (dusun dunia), tetapi juga ”global pillage” (perampasan dunia).
Dalam konteks Indonesia, intensifikasi arus globalisasi ini beriringan dengan gelombang demokratisasi dengan landasan otoritas negara yang lemah. Perubahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi hanya menghasilkan perubahan dari situsi negara otoriter menuju negara lemah otoritas. Padahal, meskipun demokrasi tak menghendaki yang pertama, ia tak bisa berjalan sehat tanpa kehadiran otoritas negara.
Dengan kondisi seperti itu, perkembangan demokrasi Indonesia ibarat berlari di atas landasan yang goyah. Perubahan demi perubahan terus terjadi di atas patahan-patahan lempengan konstitusional yang belum mencapai titik keseimbangan. Meskipun terdapat sejumlah capaian positif, kita harus tetap waspada bahwa semua perkembangan ini hanyalah tahap awal dari proses panjang menuju konsolidasi demokrasi dan kemajuan bangsa. Tahap konsolidasi menghendaki perhatian pada segi-segi substantif. Karena di benak kebanyakan rakyat yang telah lama mengalami penindasan, ketidakadilan dan kemiskinan, demokrasi melambangkan lebih dari sekadar penghapusan institusi-institusi politik yang represif dan penggantian pemimpin-pemimpin otoriter. Demokrasi menjanjikan kesempatan dan sumberdaya bagi perbaikan kualitas hidup serta bagi kehidupan sosial yang lebih adil dan manusiawi. Oleh karena itu, konsolidasi demokratisasi harus menjamin terwujudnya esensi demokrasi: yakni, pemberdayaan rakyat (popular empowerment) dan pertanggungjawaban sistemik (systemic responsiveness).
Usaha mewujudkan substansi demokrasi, pada kenyataannya terkendala oleh hambatan-hambatan kultural, institusional dan stuktural. Pada tingkat kultural, selama era reformasi, politik sebagai teknik mengalami kemajuan; tetapi politik sebagai etik mengalami kemunduran. Perangkat keras–prosedur demokasinya terlihat relatif lebih demokratis; namun perangkat lunak–budaya demokrasiya masih tetap nepotis-feodalistis; pemerintahan demokratis tidak diikuti oleh meritoktasi (pemerintahan orang-orang berprestasi), malahan sebaliknya cenderung diikuti mediokrasi (pemerintahan orang sedang-sedang saja).
Pada tingkat institusional, desain institusi demokrasi terlalu menekankan pada kekuatan alokatif (sumber dana), ketimbang kekuatan otoritatif (kapasitas manusia); politik padat modal membuat biaya kekuasaan tinggi, mengakibatkan high cost economy; merebakkan korupsi; demokrasi yang ingin memperkuat daulat rakyat justru memperkuat segelintir orang; demokrasi yang ingin memperkuat cita-cita republikanisme dan civic nationalism justru menyuburkan tribalisme dan provinsialisme (putra daerahisme). Demokrasi yang mestinya mengembangkan partisipasi, kepuasan dan daulat rakyat, justru mengembangkan ketidaksertaan (disengagement), kekecewaan dan ketidakberdayaan rakyat.
Pada tingkat struktural, kecenderungan untuk mengadopsi model-model demokrasi liberal tanpa menyesuaikannya secara seksama dengan kondisi sosial-ekonomi masyakat Indonesia, justru dapat melemahkan demokrasi. Dalam pembangunan demokrasi terdapat postulat, seperti diingatkan oleh Seymour Martin Lipset, bahwa semakin setara dan sejahtera sebuah bangsa, semakin besar peluangnya untuk menopang demokrasi. Sebaliknya, ketidaksetaraan sosial yang ekstrem dapat mempertahankan oligarkhi atau tirani. Sementara demokrasi menghendaki derajat kesetaraan dan kesejahteraan, pilihan desain demokrasi kita justru seringkali memperlebar ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat yang pada awal pertumbuhan demokrasinya ditandai oleh derajat kesetaraan dalam ekonomi, pendidikan, dan dalam kemampuan mempertahankan diri (pemilikan senjata), prasyarat kesetaraan seperti itu belum hadir di negeri ini. Sebagai masyarakat pasca-kolonial yang terus terperangkap dalam dualisme ekonomi, ketimpangan sosial mewarnai negeri ini. Segelintir orang yang menguasai sektor modern menguasai perekonomian, membiarkan sebagian besar rakyat di sektor tradisional terus termarjinalkan. Hal ini berimbas pada kesenjangan di bidang pendidikan—sekitar 70% warga masih berlatar pendidikan dasar. Bertahannya hierarkhi tradisional feodalisme juga melanggengkan ketidaksetaraan dalam otoritas legal dan kontrol warga atas pemerintah. Dalam multidimensi ketidaksetaraan seperti itu, watak pemerintahan yang akan muncul, Indonesia belum bisa menjalankan demokrasi sejati. Sejauh yang berkembang hanyalah oligarki dalam mantel demokrasi.
Sementara demokrasi kita bercorak oligarkis, kebebasan sebagai paket demokratisasi tidak selalu mengarah pada kesetaraan, melainkan bisa juga memperlebar ketidaksetaraan. Liberalisasi politik yang memacu liberalisasi pemilikan dan perusahaan, dalam lebarnya ketimpangan sosial bisa memperkuat dominasi pemodal besar atas perekonomian. Pertumbuhan ekonomi tidak diikuti oleh pemerataan. Dalam memperkuat dominasinya, para pemodal bisa menginvasi prosedur demokrasi. Oligarki yang muncul dari situasi seperti itu bukanlah oligarki yang punya empati terhadap penderitaan rakyat, melainkan yang melayani kepentingan pemodal dan dirinya sendiri.
Berbagai tantangan dalam kehidupan global dan domestik di atas dikemukakan sekadar untuk melihat apakah nilai-nilai Pancasila masih relevan atau telah diusangkan oleh perkembangan zaman?
Nyatanya, berbagai persoalan kontemporer yang telah disebutkan itu, jauh-jauh hari telah diantisipasi oleh Pancasila. Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme agama, sila pertama menekankan prinsip ketuhanan yang berkebudayaan dan berkeadaban. Seperti dinyatakan Bung Karno, “Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiadanya ‘egoisme-agama’…Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain.”
Dalam mengantisipasi dampak-dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk homogenisasi dan partikularisasi identitas, prinsip “sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.
Dalam prinsip “sosio-nasionalisme”, kebangsaan Indonesia adalah kebangsaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, berdiri atas prinsip semua untuk semua. Saat yang sama, kebangsaan Indonesia juga kebangsaan yang berperikemanusiaan, yang mengarah pada persaudaraan, keadilan dan keadaban dunia. Dikatakan Bung Karno, “Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman-sarinya internasionalisme”.
Dalam mengantisipasi tirani dan ketidakadilan dalam politik dan ekonomi, prinsip “sosio-demokrasi” yang tertuang dalam sila keempat dan kelima Pancasila, memberi solusi yang andal. Menurut prinsip ini, demokrasi politik harus bersejalan dengan demokrasi ekonomi. Pada ranah politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan (deliberative democracy) yang bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangan pendapat semua pihak secara inklusif. Pada ranah ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial, dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dengan semangat dasar kelima prinsip Pancasila, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.
Bersambung…
Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual
Artikel ini ditulis oleh: