Jakarta, Aktual.com – Suatu ketika, pada bulan maret 1980, saat M. Natsir mengetahui bahwa Soeharto mengeluarkan pidato yang berisi bahwa masyarakat tidak boleh lagi memakai asas lain selain pancasila, maka M. Natsir pun jatuh demam. Padahal saat itu beliau sedang berada diluar negeri, menghadiri suatu konferensi di Cyprus.
M. Natsir sangat gelisah dengan pidato Soeharto tersebut, karena ini berarti bahwa asas Islam juga tidak boleh dipakai di Indonesia. Kegelisahan yang dialami oleh M. Natsir tersebut, adalah bentuk dari kecintaannya terhadap bangsa. Ia tidak ingin pemerintah menjadikan asas islam sebagai asas yang bertentangan dengan pancasila. Karena selama ini antara islam dan pancasila tidak ada masalah.
Sebab sejak perjanjian luhur antara golongan islam dan golongan kebangsaan yang telah dicapai melalui Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, dengan kerelaan dan pengorbanan besar umat islam, bersedia mencoret kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah kata Ketuhanan di sila pertama yang ada dalam pancasila hari ini. Maka kemudian itu menjadi satu bukti paling otentik bahwa islam tidak ada masalah dengan pancasila.
Upaya orde baru untuk menjadikan pancasila sebagai ideologi bangsa, yang posisinya di atas semua asas agama-agama yang ada, terutama islam, adalah satu kesalahan berpikir yang sangat fatal. Karena hal ini akan menempatkan pancasila sebagai ideologi yang tidak humanis. Dengan gaya demikian, maka pancasila bisa menjelma menjadi satu alat pukul bagi kelompok yang paling berkuasa untuk menakut-nakuti ataupun menuduh kelompok lain sebagai penentang pancasila.
Dan hal seperti ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Maka tak heran, bila kemudian penentangan demi penentangan terhadap orde baru demikian marak, hingga akhirnya berujung terhadap gerakan reformasi 1998 yang membuat Soeharto jatuh.
Sejarah yang kelam tentang perlakuan pancasila itu, tentu perlu menjadi refleksi penting bagi bangsa kita hari ini. Khususnya pada pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, yang mulai memiliki kecenderungan untuk memperlakukan Pancasila sekedar sebagai alat untuk membungkam kelompok-kelompok yang kritis kepada pemerintah.
Padahal seharusnya, Pancasila diperlakukan sebagai dasar dan falsafah Negara yang merupakan perjanjian untuk hidup bersama-sama dengan berbagai ragam golongan demi membangun bangsa dan Negara. Kejumawaan dan rasa gagah sebagai penguasa, tampaknya tengah membuat lalai pemerintahan hari ini.
Sehingga beberapa tindakan yang mengemuka, sering memancing emosi rakyat, khususnya pada umat Islam. Jika terus dibiarkan, jika pemerintah terus berjalan dengan kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada kesalahan dalam memperlakukan pancasila, maka saya takut akan terjadi revolusi sosial yang menyita energi bangsa kita secara besar-besaran.
Kesadaran ini seharusnya dimiliki oleh pemerintah dan juga oleh orang-orang di partai politik yang kemarin mendukung Perpu ormas menjadi undang-undang nomer 2 tahun 2017. Saya sangat menyesalkan tindakan partai-partai politik yang mengesahkan perpu itu, mereka tampak ceroboh dan cenderung tidak memiliki pandangan yang jauh kedepan, tentang potensi penyalahgunaan pancasila dan potensi revolusi sosial yang mungkin terjadi di masa-masa yang akan datang.
Perppu itu tidak seharusnya lahir, dan tidak seharusnya pula menjadi undang-undang. Karena sama sekali tidak ada kegentingan yang membahayakan Negara, kecuali kepanikan dan juga phobia beberapa pejabat di pemerintahan terhadap umat Islam. Khususnya saat muncul aksi bela islam yang berjilid-jilid itu, padahal tuntutannya adalah pemerintah menegakkan keadilan hukum kepada penista agama, bukan untuk melakukan revolusi.
Yang seharusnya diwaspadai oleh pemerintah bukan gerakan dari umat islam maupun dari ormas islam, apalagi membenturkan ormas islam dengan pancasila. Karena sebagaimana yang sudah saya jelaskan diatas, bahwa islam dan pancasila tidak ada masalah. Tapi yang harus diwaspadai adalah kesulitan ekonomi masyarakat, menyempitnya lapangan kerja, dan ketidakadilan hukum, karena ini adalah pemicu utama dari terjadinya kekacauan dalam sebuah bangsa.
Namun sayang, pemerintah hari ini enggan untuk melakukan instropeksi diri, anti kritik, dan cenderung subversive. Hingga beberapa kali media kita pun ramai memberitakan penangkapan-penangkapan ulama, aktivis, demonstran mahasiswa, dan terakhir pengesahan perpu ormas itu. Bukan mengobati luka yang ada, pemerintah justru menciptakan luka baru. Karakter negarawan sama sekali tidak saya lihat ditubuh pemerintahan hari ini, memprihatinkan.
Tentu setiap kita tidak ingin bangsa ini mengalami revolusi, karena kita tahu bahaya dan kekacauan yang mungkin muncul bila revolusi itu terjadi. Sebisa mungkin, sebagai seorang warga Negara, kita harus sama-sama menjaga agar gelombang revolusi tidak membesar. Namun sangat disayangkan, saat banyak diantara kita sibuk menjaga agar tidak terjadi revolusi pada negeri ini, pemerintah justru terus menerus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang semakin mendekatkan kita kepada revolusi.
Oleh: Setiyono (Aktivis Pergerakan)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan