Jakarta, Aktual.com – Qawa’id Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) merupakan sekumpulan kaidah yang berasal dari simpulan dalil Al-Quran dan Sunnah terkait hukum – hukum fiqih. Al Imam Tajuddin As Subkiy dalam Al Asybah wan Nazhair 1/11 mengatakan, Qawa’id Fiqhiyyah adalah kaidah kulli (umum), dimana masalah-masalah juz’iyyah (bagian/parsial) yang begitu banyak masuk ke dalamnya, yang daripadanya diketahui hukum-hukum juz’iyyah.

Jika Ushul Fiqih membahas tentang dasar-dasar atau jalan secara garis besar yang dibutuhkan oleh Ahli Fiqih untuk memperoleh hukum-hukum furu seperti ‘hukum asal perintah adalah wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya’, ‘hukum asal larangan adalah haram’, dst. Maka kaidah fiqih adalah pengelompokkan hukum-hukum furu (cabang/fiqih) yang bermacam-macam ke dalam satu wadah ‘kaidah yang kulli (umum)’ yang mencakup seluruh masalah furu tersebut.

Prof. Dr. T.M Hasbi As Shiddieqy dalam bukunya ‘Pengantar Hukum Islam’ menyatakan, “Tak dapat diragukan, bahwa seseorang yang hendak berijtihad memerlukan kaidah-kaidah kulliyyah (umum) yang perlu dipedomani dalam menetapkan hukum. Ulama-ulama Ushul berkata, “Apabila kaidah-kaidah kokoh terhunjam di dalam dada, mudah dan lancarlah lidah-lidah menuturkan furu (hukum fiqih).”

Para ulama terdahulu mengatakan,

مَنْ رَاعَى الْأُصُوْلَ كَانَ حَقِيْقًا بِالْوُصُوْلِ وَمَنْ رَاعَى الْقَوَاعِدَ كَانَ خَلِيْقًا بِإِدْرَاكِ الْمَقَاصِدِ

“Barang siapa yang memperhatikan (memahami dan mengikuti) ilmu ushul fiqih, tentu ia akan sampai kepada maksud (hukum-hukum fiqih), dan barang siapa yang memperhatikan kaidah fiqih, tentu dia akan mencapai yang dimaksud (hukum-hukum fiqih).”

Ada banyak sekali kaidah fiqih yang dihasilkan oleh para ulama. Akan tetapi, ada lima kaidah umum yang utama. Lima kaidah ini sering disebut sebagai al-qawaid al-fiqhiyah al-kubra. <span;>Menurut sebagian ulama, bahwa seluruh masalah fiqih dikembalikan kepada kaedah yang lima berikut ini:

اَلْأُمُوْرُ بِمَقَاصِدِهَا

1. Semua perbuatan tergantung niatnya.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya amal itu tergantung niat, dan seseorang akan mendapatkan sesuai niatnya.” (Hr. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Maksud kaedah ini adalah setiap perbuatan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah maupun antara sesama makhluk ditentukan oleh niat dan tujuan dilakukannya.

Dalam ibadah yang kaitannya dengan Allah Azza wa Jalla, niat adalah rukun, sehingga menentukan sah-tidaknya suatu amal. Sedangkan dalam perbuatan yang kaitannya dengan sesama makhluk, seperti muamalah, munakahah (pernikahan), jinayat (tindak pidana), niat merupakan penentu; apakah perbuatan tersebut mempunyai nilai ibadah atau sebaliknya, dan apakah sebagai perbuatan yang membawa dosa atau tidak.

Niat juga merupakan pembeda antara ibadah yang satu dengan yang lain, seperti ibadah yang fardhu dan yang sunah. Demikian juga merupakan pembeda antara ibadah atau sekedar amal kebiasaan. Ini semua yang membedakannya adalah niat. Dan niat itu tempatnya di hati; bukan di lisan.

اَلْيَقِيْنُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

2. Keyakinan tidak dapat disingkirkan oleh keraguan.

Dalil kaidah ini adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berikut,

« إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى ثَلاَثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَنَ

“Apabila salah seorang di antara kamu ragu-ragu dalam shalatnya, ia tidak ingat apakah sudah shalat tiga rakaat atau empat rakaat, maka singkirkanlah keragu-raguan dan dasarilah sesuai yang diyakini.” (HR. Muslim)

Yakin artinya maa kaana tsaabitan bin nazhar wad dalil, yakni sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti). Sedangkan syak (ragu-ragu) artinya adalah keadaan yang tidak pasti, berada di tengah-tengah antara betul atau tidak tanpa bisa dikalahkan salah satunya.

Maksud kaidah kedua adalah bahwa sesuatu yang telah meyakinkan tidak dapat digoyahkan oleh sesuatu yang masih meragukan, kecuali yang meragukan itu naik menjadi yakin.

Contoh penerapan kaedah kedua adalah seorang yang telah berwudhu, kemudian datang keraguan apakah ia telah berhadats, maka dalam hal ini ditetapkan yang telah diyakini, yakni masih ada wudhu dan belum berhadats.

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

3. Kesulitan mendatangkan kemudahan.

Dalil kaedah ini adalah firman Allah Ta’ala berikut,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ

“Allah menginginkan kemudahan untukmu dan tidak mengingikan kesulitan.” (Qs. Al Baqarah: 185)

Para ulama menerangkan, bahwa dari kaedah di atas keluar segala bentuk rukhshah atau keringanan. Di antaranya:

Ketika safar, seseorang boleh mengqashar (mengurangi jumlah rakaat dari 4 menjadi 2), boleh berbuka, boleh mengusap khuff lebih dari sehari-semalam, dsb.

Ketika sakit, boleh shalat sambil duduk atau berbaring ketika tidak sanggup berdiri, boleh tayammum ketika berbahaya menggunakan air, boleh berbuka puasa, dsb.

Ketika lupa, bebas dari dosa karena lupa, seperti makan pada waktu puasa Ramadhan, atau salam sebelum selesai shalat, kemudian berbicara dengan sengaja karena mengira shalatnya telah selesai, maka dia tidak batal shalatnya.

Ketika terpaksa (darurat), seseorang boleh memakan makanan yang diharamkan agar dirinya tidak binasa.

Ketika jahil (tidak tahu), seperti berbicara ketika shalat karena tidak tahu hukumnya, maka shalatnya tidak batal.

Ketika sulit atau umumul balwa (keadaan yang sulit dihindari), seperti shalat dengan terkena najis yang sulit dihindari, adanya kotoran burung yang tersebar di masjid, dsb.

 اَلضَّرَرُ يُزَالُ

4. Bahaya harus disingkirkan
Dalil kaedah ini adalah hadits,

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»

Tidak boleh membahayakan diri dan orang lain. (Hr. Ibnu Majah)

Contoh penerapan kaedah ini dalam masalah muamalah adalah, diperbolehkan mengembalikan barang yang telah dibeli jika ternyata ada cacat. Demikian pula dalam transaksi jual beli karena terdapat perbedaan sifat yang tidak sesuai dengan yang telah disepakati, disyariatkannya hajr (pencegahan melakukan transaksi pada harta) bagi orang yang safih (dungu/kurang akal), anak yatim yang belum cerdas atau orang yang hilang akalnya. Dasar pertimbangan diberlakukan ketentuan-ketentuan tersebut adalah untuk menghindarkan sejauh mungkin madharat (bahaya) yang merugikan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya.

Dalam masalah jinayat, Islam menetapkan qishas (membalas serupa). Juga ditetapkan hukuman hudud agar tidak terulang lagi perbuatan berbahaya yang dilakukan, adanya kaffarat, mengganti rugi kerusakan, mengangkat para penguasa untuk menumpas para pengacau keamanan dan menindak para pelaku kriminalitas, dsb.

Dalam masalah munakahat (pernikahan), Islam membolehkan perceraian dalam situasi dan kondisi rumah tangga yang sudah tidak teratasi agar kedua suami istri tidak mengalami penderitaan batin terus-menerus. Demikian pula dizinkan faskh (pembatalan pernikahan) karena aib.

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ

5.  Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum.

Dalil kaedah ini adalah pernyataan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu,

«مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ»

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin (para sahabat), maka hal itu baik pula di sisi Allah.”

Maksud kaidah ini adalah bahwa adat dapat menjadi rujukan hukum dalam beberapa keadaan.

Maksud ‘adat’ menurut para Ahli Fiqih adalah,

عِبَارَةٌ عَمَّا يَسْتَقِرُّ فِي النُّفُوْسِ مِنَ الْأُمُوْرِ الْمُتَكَرِّرَةِ الْمَعْقُوْلَةِ عِنْدَ الطَّبَائِعِ السَّلِيْمَةِ

Istilah untuk sesuatu yang berulang kali yang telah menetap dalam jiwa karena sejalan dengan akal menurut tabiat yang masih sehat.

Berdasarkan definisi di atas, adat merupakan perkara yang berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan tabiat yang masih sehat.  Adat menjadi hujjah adalah ketika bermanfaat dan tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, tidak termasuk adat sama sekali hal-hal yang membawa kepada kerusakan, kemaksiatan, dan tidak ada faedahnya sama sekali, seperti muamalah secara riba, berjudi, menyabung ayam, dan sebagainya meskipun perbuatan-perbuatan itu menjadi kebiasaan dan bahkan mungkin sudah tidak dirasakan lagi keburukannya.

Contoh penerapan kaedah di atas adalah tentang usia haidh dan baligh, batas minimal darah haidh dan nifas, lamanya jeda yang bertentangan dengan muwalah (berurutan) dalam wudhu, banyaknya gerakan menurut adat yang dianggap membatalkan shalat, dsb.

Dalam hubungannya dengan kaidah di atas, para Ahli Fiqih menyatakan,

كُلُّ مَا وَرَدَ بِهِ الشَّرْعُ مُطْلَقًا وَلاَ ضَابِطَ لَهُ فِيْهِ وَلاَ فِي اللُّغَةِ يُرْجَعُ فِيْهِ إِلَى الْعُرْفِ

“Semua yang datang dari syara secara mutlak, tidak ada ketentuannya dalam agama maupun bahasa, maka dikembalikan kepada uruf (adat yang berlaku).”

Contohnya ukuran nafkah kepada istri dan bentuk ihsan kepada kedua orang tua, serta bentuk silaturrahim.

Setiap lima kaidah yang disebutkan di atas memiliki kaidah-kaidah turunan yang tidak kami sebutkan di sini. Dan m<span;>enurut Al Imam Izzuddin bin Abdussalam, bahwa hukum fiqih seluruhnya kembali kepada kalimat ini,

اِعْتِبَارُ الْمَصَالِحِ وَدَرْءُ الْمَفَاسِدِ

Memperhatikan (mendatangkan) maslahat dan menolak mafsadat (kerusakan/bahaya).

Itulah lima landasan umum atau kaidah fiqih pokok yang ada dalam agama Islam. Masing – masing kaidah ini bisa diterapkan sesuai dengan waktu dan kondisi yang sesuai. Dengan memahami kaidah fiqh, akan ada banyak manfaat yang bisa didapat. Salah satunya adalah menjadi lebih mudah untuk menentukan hukum atau kebolehan suatu perkara.

Wallahu a’lam wa shallallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad wa ‘alaa alihi wa shahbihi wa sallam.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: As'ad Syamsul Abidin