Kuala Lumpur, Aktual.com – Perdana Menteri baru Malaysia Anwar Ibrahim yang dilantik pada Kamis (24/11), mengakhiri perjalanan panjangnya untuk posisi yang lama diincar dan menyebabkannya harus menjalani hampir satu dekade hidupnya di penjara.

Sebagai pemimpin oposisi, Anwar (75) memimpin puluhan ribu warga Malaysia dalam protes jalanan pada 1990-an melawan guru yang kemudian menjadi musuhnya, Mahathir Mohamad.

Anwar memulai perjalanan politiknya sebagai pemimpin pemuda Islam sebelum bergabung dengan Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) pimpinan perdana menteri Mahathir, yang memimpin aliansi Barisan Nasional.

Hubungannya yang tegang dengan pemimpin veteran itu membentuk karier Anwar sendiri, serta lanskap politik Malaysia, selama hampir tiga dekade.

Anwar pernah menghabiskan hampir satu dekade di penjara karena kasus sodomi dan korupsi—dua tuduhan yang menurutnya bermotivasi politik.

Mahathir menyebut Anwar sebagai teman dan anak didiknya, dan menunjuknya sebagai penggantinya.

Namun, di tengah tuntutan pidana dan perbedaan pendapat tentang bagaimana menangani krisis keuangan Asia pada 1998, dia mengatakan Anwar tidak layak memimpin “karena karakternya”.

Keduanya berdamai sebentar pada 2018 untuk menggulingkan kekuasaan dengan aliansi politik yang pernah mereka miliki, kemudian kembali berselisih dalam waktu dua tahun dan mengakhiri masa pemerintahan mereka yang hanya berusia 22 bulan.

Kala itu, Malaysia terjerumus dalam periode ketidakstabilan.

Terpilihnya Anwar sebagai perdana menteri mengakhiri krisis politik Malaysia setelah pemilihan pada Sabtu (19/11) menempatkan parlemen ke posisi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Meskipun blok progresif Anwar memenangi kursi terbanyak di parlemen, tetapi hasil perolehan suara tidak mencapai mayoritas.

Anwar mengatakan kepada Reuters dalam sebuah wawancara sebelum pemilihan bahwa dia akan berusaha “menekankan pemerintahan dan antikorupsi, dan membersihkan negara ini dari rasisme dan kefanatikan agama”.

Selama beberapa dekade, Anwar menyerukan inklusivitas dan perombakan sistem politik di negara multietnis itu.

Sekitar 70 persen dari populasi Malaysia yang berjumlah hampir 33 juta terdiri dari etnis Melayu, yang sebagian besar Muslim, dan sisanya adalah kelompok etnis China dan India.

Anwar menyerukan penghapusan kebijakan yang mendukung orang Melayu dan diakhirinya sistem patronase yang membuat koalisi penguasa terpanjang Malaysia, Barisan Nasional, tetap berkuasa.

Seruannya tentang reformasi bergema di seluruh negeri dan masih menjadi janji utama aliansinya.

Pendukung Anwar mengungkapkan harapan bahwa pemerintahan pemimpin karismatik mereka akan mencegah kembalinya ketegangan bersejarah antara etnis Melayu, mayoritas Muslim, dan minoritas etnis China dan India.

“Yang kami inginkan adalah moderasi untuk Malaysia dan Anwar mewakili itu,” kata seorang manajer komunikasi di Kuala Lumpur, yang meminta untuk diidentifikasi dengan nama keluarga Tang.

“Kita tidak dapat memiliki negara yang terbagi oleh ras dan agama karena itu akan membuat kita mundur  sepuluh tahun lagi,” ujar dia.

James Chai, analis politik ISEAS-Yusof Ishak Institute di Singapura, menilai Anwar muncul sebagai pemimpin di masa yang tepat.

“Selalu dianggap sebagai orang yang bisa menyatukan semua faksi yang bertikai, sudah sepantasnya Anwar muncul pada masa yang memecah belah,” kata Chai. (Reuters)

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin