Jakarta, aktual.com – Sering kali kita melihat ada sekelompok orang yang meragukan keberadaan Tuhan, mereka meragukan Tuhan beralasan bahwa Tuhan tidak dapat dilihat secara Inderawi. Kelompok tersebut kita kenal dengan sebutan Atheis.
Padahal, dalam membuktikan sebuah kebenaran. Panca Indera bukanlah satu-satunya alat untuk membuktikan kebenaran, melainkan dia hanya salah satu alat untuk membuktikan kebenaran. Bahkan dalam kondisi tertentu, panca indera justru dapat menipu, seperti tongkat yang lurus bisa terlihat bengkok manakala tenggelam dalam air.
Untuk menjawab kebenaran bahwa Tuhan itu ada, terdapat sebuah argumen yang dikenal dengan argumen kebaruan (Burhan al-Huduts/Cosmological Argument).
Segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk Manusia pasti memiliki dua aspek yaitu substansi (Jauhar/Substance) dan aksiden (‘Aradh/Accident).
Substansi yaitu esensi yang apabila ditemukan di alam luar, maka niscaya dia tidak berada dalam subjek. Contohnya yaitu Manusia. adapun tinggi badan, warna kulit, berat badan dan hal-hal yang mengitarinya merupakan aksiden.
Dalam logika aristotelian, aksiden itu berjumlah sembilan. Ditambah satu substansi. Dari situ muncullah apa yang dikenal dengan “Sepuluh Kategori” (Maqulat ‘Asyrah/Ten Categories).
Segala sesuatu di Dunia ini pasti tidak akan lepas dari sepuluh kategori tersebut yaitu Substansi dan Aksiden. Keduanya juga saling terikat satu sama lain.
Aksiden yang kita kenal itu senantiasa berubah-ubah. Seperti Zaid yang dulunya memiliki tinggi 150 Cm, 3 tahun kemudian bertambah tinggi menjadi 159 Cm. Atau, yang dulunya memiliki berat badan 65 Kg, 2 tahun kemudian memiliki berat badan 70 Kg.
Karena aksiden itu senantiasa berubah-ubah maka dia termasuk sesuatu yang hadits (ada dari ketiadaan), dan karena aksiden itu senantiasa bersama dengan substansi, maka konsekuensinya substansi juga menjadi hadits. Jika substansi dan aksiden terbukti hadits, maka alam semesta ini yang terdiri dari substansi dan aksiden juga hadits. ketika alam ini hadits, maka dia butuh pada muhdits (yang mengadakan dari ketiadaan), dan dia adalah Allah (Tuhan).
Lalu, apakah Allah merupakan substansi atau aksiden? Jawabannya adalah bukan. Karena substansi adalah srsuatu yang bertempat, sementara Tuhan tidak bertempat. Di samping itu, substansi juga senantiasa disertai dengan aksiden. Sedangkan Akdisen adalah sesuatu yang hadits.
Jika disebut sebagai substansi saja tidak mungkin, apalagi kalau kita sebut sebagai aksiden, sebagai sesuatu yang berada dengana danya sesuatu yang lain. Karena kalau Tuhan disebut sebagai aksiden, itu artinya Tuhan bergantung pada sesuatu yang lain, dan hal itu mustahil.
Karena alam semesta ini terdiri dari substansi dan aksiden, dan masing-masing dari substansi dan aksiden itu adalah sesuatu yang hadits, maka alam semesta ini adalah sesuatu yang hadits. Segala sesuatu yang hadits pasti butuh pada muhdits, dan Dia adalah Allah.
Argumen ini bisa diperjelas dengan memakai bangunan silogisme:
Premis Minor: Alam ini terdiri dari substansi dan aksiden yang ada dari ketiadaan
Premis Mayor: Segala sesuatu yang ada dari ketiadaan pasti ada yang mengadakan
Konklusi: Alam ini ada yang mengadakan.
Waallahu a’lam
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain