Oleh: Yudi Latif
Jakarta, aktual.com – Saudaraku, tentang perjuangan menegakkan meritokrasi, Inggris contoh terbaik. Hingga abad 18, Inggris terkenal sebagai rumah nepotisme. Karena tak pernah dijajah, tak pernah sepenuhnya kalah dalam perang, dan tak pernah diguncang revolusi politik, Inggris tak pernah berjeda membuat awalan segar.
Ketiadaan “disrupsi” ini membuat masyarakat Inggris tetap bermental pedesaan setelah 80 persen penduduknya tinggal di kota. Dalam mental perdesaan inilah feodalisme bertahan, bersekutu dengan nepotisme.
Beruntung, Inggris mendapat tekanan dari luar dan dalam. Dari luar berupa peperangan antarbangsa, sebagai perwujudan sempurna kompetisi internasional, yang mendesak keharusan menghargai merit. Perang bukan saja memacu penemuan teknologi, tetap juga mendorong penggunaan SDM lebih baik. Sejak PD I, tes IQ diberlakukan guna merekrut personel ketentaraan, yang mendesak reformasi di bidang pendidikan.
Dari dalam, tekanan muncul dari aspirasi sosialis yg melancarkan serangan terhadap segala jenis pengaruh keluarga dalam dunia kerja. Hal itu mempercepat tumbuhnya organisasi berskala besar yg mendorong promosi atas dasar merit. Mereka juga menuntut kesetaraan lebih besar dalam akses ke dunia pendidikan dan meritokrasi dalam jabatan.
Pengalaman Inggris memberi pelajaran penting bagi kita. Nepotisme bisa tergerus jika bangsa memiliki competitive spirit. Semangat berkompetisi bisa tumbuh jika kecenderungan inward looking berubah menjadi outward looking. Tidak adanya competitive spirit melemahkan dorongan untuk mengerahkan talenta terbaik bangsa, dan para pemimpin medioker yang tampil tak memiliki sense of crisis.
Pergeseran dari nepotisme ke meritokrasi juga memerlukan perjuangan kuasa. Ide-ide sosialistik dibutuhkan sebagai pendobrak ketimpangan masyarakat karena perbedaan keturunan maupun kepemilikan. Perjuangan ini harus dimulai sejak dini, dalam akses thd dunia pendidikan. Seperti kata Pierre Bourdieu, pendidikan memberikan bukan sekadar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib sosial, tetap juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.
Demokrasi telah susah-payah diperjuangkan. Sia-sia jika yang tampil memimpin hanya onggokan sampah.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain