Beranda Nasional Hukum Menggugat RUU PPSK yang Mengkooptasi Prinsip Demokrasi di Koperasi

Menggugat RUU PPSK yang Mengkooptasi Prinsip Demokrasi di Koperasi

Desain Arsitektur Kelembagaan

Koperasi Simpan Pinjam (KSP) di tanah air, jika dibandingkan dengan aset perbankan komersial memang masih sangat kecil. Jumlah keseluruhan asetnya hanya Rp 101 triliun (Kemenkop dan UKM, Desember 2021) atau hanya 1 persen dari total nilai aset perbankan komersial sebesar Rp 10.112 triliun (OJK, Desember 2021).

Salah satu alasan kenapa sektor keuangan koperasi menjadi perhatian khusus dalam proses penyusunan RUU PPSK karena akhir akhir ini banyak yang mengalami gagal bayar dan merugikan masyarakat. Setidaknya, dari 8 koperasi bermasalah yang sedang ditangani oleh Satuan Tugas ( Satgas ) Koperasi Bermasalah Kemenkop dan UKM saat ini, potensi kerugian uang anggotanya mencapai Rp 26 triliun dan berdampak pada ratusan ribu anggotanya ( Kemenkop dan UKM, 2022).

Undang Undang Nomor 25 tentang Perkoperasian sebagai norma hukum positif yang masih berlaku memang sudah tidak memadai lagi untuk mengatur masalah koperasi di Indonesia dan juga karena tidak imperatif. Termasuk UU Ciptakerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi sekalipun tidak menunjukkan sebagai bangunan arsitektur kelembagaan koperasi yang mengarah ke perbaikan.

Sementara itu, mengenai sistem pengawasan eksternal koperasi yang dibentuk oleh Kementerian Koperasi dan UKM, juga dianggap tidak memadai. Dalam prakteknya memang tidak efektif, dikarenakan Kemenkop dan UKM  sebagai lembaga pelaksana kebijakan program “pembinaan” koperasi dianggap tidak mungkin mampu untuk mengawasi “binaan”nya sendiri.

KSP tidak mendapatkan fasilitas penjaminan simpanan dari LPS, penjaminan kredit, subsidi bunga dan atau imbal jasa penjaminan, modal pernyertaan, dana penempatan, bahkan talangan (bailout) ketika hadapi kondisi gagal bayar seperti yang didapatkan korporasi bank komersial. Tidak adanya LPS ini akhirnya menyebabkan anggota merasakan ketidakamanan dalam menyimpan uangnya di KSP. Pada akhirnya KSP membuat daya tarik berupa tingkat bunga simpanan dan investasi lebih tinggi dari bank komersial. Hal mana yang menyebabkan munculnya potensi resiko gagal bayar lebih tinggi dari bank komersial.

Tidak adanya penjaminan LPS tersebut telah menaikkan biaya modal (cost of fund) dari KSP. Hal ini akhirnya menyebabkan bunga pinjaman juga menjadi relatif tinggi. KSP daya saingnya menjadi rendah jika dibandingkan dengan bank sebagai lembaga saingan mereka.

Secara keseluruhan, KSP di Indonesia selama ini memang dikeluarkan dari lintas bisnis keuangan modern yang memiliki banyak fasilitas penting untuk memperkuat dan memitigasi resiko hadapi krisis keuangan maupun ekonomi. Dimana fasilitas kebijakan tersebut secara tidak langsung tentu menjadi pisau tajam korporat bank komersial membunuh KSP ketika mereka didiskriminasi.

Artikel ini ditulis oleh:

Megel Jekson