Jakarta, Aktual.com – “Beragam”-nya fakta sejarah yang terjadi di masalalu merupakan pertanda masih adanya kekeliruan sejarah yang perlu diluruskan. Banyak sejarah bangsa ini yang harus diluruskan, terutama catatan-catatan sejarah yang muncul pada zaman penjajahan kolonial. Karena tidak sedikit sejarah buatan Belanda yang dianggap menyesatkan. Diantaranya soal Perang Bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda yang hingga kini menyisakan catatan kelam.
Konflik dingin terjadi di antara Majapahit dan Sunda. Hingga berabad-abad usai peristiwa itu, seolah-olah terjadi suasana yang kurang harmonis, bahkan jauh setelah Kerajaan Majapahit maupun Kerajaan Sunda tidak eksis lagi.
Sejarah ini kemudian juga melahirkan mitos, tidak baik orang Jawa kawin dengan orang Sunda dan sebaliknya. Perkawinan itu membuat mereka akan hidup sengsara. Miskin, selalu bernasib sial, dan tidak bahagia.
Adalah KH. Agus Sunyoto, M.Pd. Penulis, sejarawan dan salah satu tokoh Nahdlatul ‘Ulama yang pernah menjabat sebagai ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia PBNU (LESBUMI), yang berusaha meluruskan sejarah Perang Bubat dan seputaran Majapahit.
Menurut Agus Sunyoto, mitos seperti itu lahir dari imajinasi yang tidak benar. Perang Bubat itu tidak ada, dan tidak tertulis dalam sejarah. “Itu hanya imajinasi Belanda. Juga Pararaton yang sering dijadikan referensi,” katanya seperti dilansir Nasionalisme.co.
Dalam banyak kisah disebut, Perang Bubat terjadi bermula dari niat Prabu Hayam Wuruk ingin memperistri Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Hayam Wuruk tertarik gara-gara lukisan Sungging Prabantara yang diam-diam menggambar gadis ini.
Hayam Wuruk ingin memperistri Dyah Pitaloka untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Hayam Wuruk mengirimkan surat untuk melamar pada Maharaja Linggabuana.
Upacara pernikahan akan dilangsungkan di Majapahit. Maharaja Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka diiringi prajurit.
Dalam Kidung Sundayana, Gajah Mada berambisi menguasai Kerajaan Sunda. Ini untuk memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik tahta. Kerajaan di Nusantara sudah ditaklukkan Majapahit, tinggal kerajaan Sunda yang belum.
Terjadilah perang dan pengusiran. Ini yang menjadi dasar lahirnya mitos, Sunda tak baik menjalin perkawinan dengan Jawa. Malah di Jawa Barat juga tidak ada jalan yang bernama Gajah Mada dan Hayam Wuruk.
‘Begini ini kan menyesatkan. Padahal perang itu tidak ada. Sejarah seperti ini tidak ada. Saya melacak sampai Leiden (Belanda), juga tidak ada dokumennya. Juga kalau kita study ke lapangan, untuk melacak perang itu kapan, dimana, dan adakah bekas-bekasnya, semuanya tidak ditemukan,” katanya.
Ketika ditanya, mengapa sejarah yang menyesatkan itu sampai melahirkan mitos dan kepercayaan, Agus mengatakan, itu karena sekolah. Itu diajarkan. “Makanya kita jangan asal percaya dokumen Belanda. Banyak yang bohong itu. Ini memang dibuat untuk tujuan memecah itu,” katanya serius.
Upaya Menghapus Luka Budaya
Dikutip dari Kompasiana, Raja Mataram Islam Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono Sayidin Panotogomo Khalifatulah Hingkang Jumeneng Kaping Sedoso (HB X), yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, telah menjalin kesepahaman dengan Gubernur Jawa Barat ketika itu Aher Ahmad Heriawan untuk saling memberi nama jalan dengan latar belakang budaya Sunda dan Jawa.
Pemberian nama jalan arteri di Yogyakarta pada tahun 2017 itu, dengan nama raja dan kerajaan besar di Jawa ternyata dalam upaya untuk merukunkan budaya psikologis 2 suku besar di Jawa, yakni Suku Jawa dan Suku Sunda. Hal ini berkaitan dengan rekonsiliasi budaya Jawa dan Sunda, yang selalu dikaitkan dengan sejarah lama, Perang Bubat.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 166 Tahun 2017 tentang Penamaan Jalan Arteri, ruas jalan yang dikenal sebagai ring road dibagi-bagi dengan tujuan sinergi psikologi budaya, yakni menjadi enam nama jalan. Dua jalan menggunakan nama raja besar, dua lain menyandang nama kerajaan, dan sisanya nama tokoh penting sejarah Indonesia modern.
Simpang tiga Jombor sampai simpang tiga Maguwoharjo (10 kilometer) bernama Jalan Padjajaran. Simpang empat Pelem Gurih sampai Jombor (5,8 kilometer) merupakan Jalan Siliwangi. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping diberi nama Jalan Brawijaya.
Selanjutnya, simpang empat Janti sampai Ketandan disebut Jalan Majapahit. Simpang empat Dongkelan sampai simpang tiga Gamping dikenal dengan nama Jalan Brawijaya. Simpang empat Wonosari (Ketandan) sampai Imogiri Barat (Wojo) dinamai Jalan Ahmad Yani. Simpang empat Wojo sampai Dongkelan bernama Jalan Prof Dr Wirjono Projodikoro.
Upaya “rekonsiliasi” demi “memperbaiki kembali hubungan” itu akhirnya terwujud pada 11 Mei 2018. Di Bandung, ibu kota Provinsi Jawa Barat, diresmikan tiga ruas jalan yang diberi nama Jalan Majapahit, Jalan Prabu Hayam Wuruk, dan Jalan Citraresmi.
Peresmian dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat saat itu yakni Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur Jawa Timur kala itu yakni Soekarwo, dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Paku Alam X, di sela-sela kegiatan Harmoni Budaya Jawa-Sunda di Gedung Sate, Kota Bandung, Jumat (11/5/2018).
Semua media cetak maupun online, memberitakan bahwa hal itu bagian dari “rekonsiliasi budaya”. Dan memang begitu kenyataannya. Tragedi perang bubat hingga kini masih menyisakan luka sosiokultural psikologis di tengah masyarakat khususnya Jawa-Sunda.
Meluruskan sejarah yang sudah mendarah daging dalam kurikulum sekolah memang tidak mudah. Apalagi sampai menjadi luka sosiokultural psikologis dalam urat nadi rakyat. Seperti sejarah yang melahirkan traumatis kultural yang sangat menyengat macam Perang Bubat.
Artikel ini ditulis oleh:
As'ad Syamsul Abidin