By: Irawan Santoso Shiddiq

Sekulerisme. Asal katanya ‘sekuler’. Ini bukan kosakata nusantara. Tak ada dalam Bahasa Aceh, Melayu, Jawa, Madura, Sunda apalagi Batak. Ini kosakata import. Asalnya dari English. Jamak mahfum maknanya. Pemisahan agama dan urusan dunia. Sekuler, dari kata “schollars”. Lidah nusantara menyebutnya “skuler”. Dari mana datangnya “schollars”? Ini Bahasa awalnya “skool”. Englishnya “school”. Belanda: skool. Inilah yang kemudian menjadi “sekolah”. Eropa mulai mengenalnya sejak renaissance. Era “skolastik”. Masa kala filsafat kembali masuk ke belantara Eropa. Dari situlah masa “skolastik” dimulai. Jaman itulah “schollars” mulai dikenali.

Muasalnya berasal dari filsafat. Sejak filsafat mulai masuk ke barat. Mereka mengadopsinya dari kaum mu’tazilah. Thomas Aquinas yang paling membahana. Dialah filosof masa ‘skolastik’ yang ternama. Era kala filsafat dianggap juga sumber “kebenaran.” Masa itu, Eropa masih meyakini sumber ‘Kebenaran’ itu tanggal berasal dari Gereja Roma. Gereja sebagai pusat penafsir tanggal ‘Kebenaran.’ Tapi problematika banyak datang. Karena jaman itu dianggap ‘kegelapan’ Eropa. Karena Islam tengah berjaya. Proyek crusader gagal merebut kembali ‘Yerusalem’ dari tangan muslimin. Ditambah seolah terjadi masalah tafsir ‘Kebenaran’ ala Gereja dengan rasionalitas. Disitulah peluang ‘filsafat’ masuk ke Eropa.

Sementara belantara Islam sebelumnya, dialektika panjang terjadi. Mu’tazilah yang melahirkan sains yang tinggi, dianggap era Islam Berjaya. Khas filsafat, dimanapun dianut, disitulah lahir sains. Tapi satu sisi, mu’tazilah –era kala filsafat ‘di-Islam-kan’—ternyata tak vis a vis dengan ‘kejayaan Islam.’ Al Quds sempat lepas dari tangan muslimin. Sebelum direbut kembali oleh Sultan Salahuddin al Ayyubi, yang bukan penganut mu’tazilah tentunya. Di Andalusia, wilayah Islam lepas kendali. Direbut kaum Nasrani, yang bahkan kala itu belum mengenal kopi. Padahal sains begitu tinggi. Cordoba, pusat filsafat mu’tazilah masa itu, lemah dari sisi militeristik. Karena sains, membuat kelemahan dalam urusan aqidah.

Ini yang diwanti Imam al Ghazali, Shaykh Abdalqadir al Jailani. Sebelumnya Imam Asyari juga telah membasmi. Tentang kekeliruan manhaj mu’tazilah dari sisi aqidah. Karena mereka telah membaca, ujung dari filsafat itu akan membawa manusia pada sekulerisme. Puncak dari sekulerisme, tentulah ateisme. Dan itu yang terjadi kini.

Dialektika antara mu’tazilah dan ahlul sunnah, itu mencengangkan Eropa. Barat seolah merasa ‘kegelapan’ itu karena tafsir usang dari penganut agama. Alhasil perlu tafsir baru soal ‘kebenaran.’ Dari situlah filsafat menjadi diminati. Ajaran mu’tazilah pun digemari. Mereka mempelajari. Jadilah Thomas Aquinas mulai merangsek dengan ‘Summa Theologia.’ Dia memperkenalkan “Tweez Warden Theorie”. Teori kebenaran ganda.

Ini khas ajaran mu’tazilah sebelumnya. Dulu, Al Farabi juga memperkenalkan ini. Dia menyebutkan tentang teori “emanasi”. Penyingkapan. Tapi Al Farabi berbeda memaknai ‘emanasi’ dalam versi filosof dan sufi. Emanasi ala Al Farabi, seolah manusia mampu ‘menyingkap’ Kebenaran dengan akalnya. Islam menyebut, ‘emanasi’ bukanlah demikian. ‘Penyingkapan’ itu bermakna pembukaan qalbu. Bukan pembukaan aqli (akal). Pembukaan qalbu, berjalan dengan ketaqwaan dan rutinitas Ilahiah yang tinggi. Sufi menyebutnya dengan dzirullah yang ber-sanad. Dengan pengajaran.

Al Farabi berbeda. Dia mengutip Aristoteles. Seolah dengan akal, manusia bisa menyingkap ‘Kebenaran.’ Al Farabi menyebutnya sebagai ‘kebenaran ganda’. ‘Kebenaran’ ala Wahyu dan ‘kebenaran’ ala akal. Nabi, katanya, mendapatkan kebenaran berlandas wahyu. Sementara filosof, katanya, mendapat ‘kebenaran’ berlandas akalnya. Itulah yang dia sebut ‘emanasi.’

Dua abad berselang, teori itu yang dibawa Aquinas ke Eropa. Dia menuliskan tentang ‘kebenaran ganda’ tadi. Bahwa bukan sekedar ‘Wahyu’ sebagai sumber kebenaran. Melainkan akal juga layak. “Tweez Warden Theorie” pun membahana. Ini dijadikan ajang untuk melawan dogma Gereja Roma yang kala itu dominan di Eropa.

Dari Aquinas, filsafat pun mulai kembali dikenal Eropa. Sebelumnya mereka terputus sanad filsafat. Di Eropa Timur, Kaisar Romawi, Justianus I, menutup ‘Akademi Plato’ sejak abad 3 M. Karena mereka tahu bahayanya filsafat. Di Eropa barat, Aquinas mengutip mu’tazilah dan membawa filsafat masuk. Itu kisaran abad 12 M. Pasca filsafat di-Islam-kan. Maka, filsafat pun di-Kristen-kan. Disitulah renaissance berlangsung.

Era itulah skolastik dimulai. Tentang kebenaran ganda. Seolah, akal juga sumber ‘kebenaran.’ Seolah, ajaran Socrates, Plato, Aristoteles dibenarkan. Maka, skolastisme menyeruak. Eropa mulai belajar caranya “berpikir”. Mereka menukiskan “berpikir kembali” (renaissance). Tapi, kala sebelum renaissance, bukan bermakna mereka tak “berpikir.”

Periode skolastik itu, filsafat yang dominan masih filosof ilahiyyun. Filsafat ketuhanan. Imam Ghazali membagi tiga jenis filosof. Filosof ilahiyyun (ketuhanan), filosof tabiiyyun (naturalism), filosof dahriyyun (ateisme). Skolastik, masih untung. Karena filsafat masih berbicara ‘ketuhanan.’ Tentu yang dimaksud ialah ‘teori tentang Tuhan.’ Ini yang dimaksud teologi. Tentu ini bukan Tauhid.

Masa skolastik, dogma masih dominan. Filsafat belum mampu meruntuhkan dominasi dogma. Masih berupaya merangsek masuk. Tapi selepas skolastik, masuklah era modern. Ini yang disebut modernisme. Eksponennya banyak. Rene Descartes yang membahana. Ajarannya teori ‘cogito ergo sum’. Maknanya, yang dimaksud ‘kebenaran’ adalah yang berasal dari akal semata. Tak ada ‘kebenaran’ Wahyu. Tak ada ‘kebenaran’ ganda. Tak ada ‘kebenaran ala agama.’ Dari sinilah pemisahan ‘agama’ dan ‘rasio’ makin menjadi. Ajaran Descartes ini yang mengeliminasi ‘kebenaran’ ala agama. Disusul teori Kant tentang empirisme. Penopang teori ‘eliminasi’ kebenaran agama ini menjamur.

Rasionalitas murni ala Cartesius dan empirisme ala Kant, tentu mengeliminasi ‘skolastik’. Mereka mengakui ‘kebenaran’ sebagai satu-satunya sebagai buah ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘Perbuatan Tuhan.’ Masa skolastik, masih mengakui adanya dua ‘perbuatan.’ “Perbuatan Tuhan’ dan ‘perbuatan manusia.’ Makanya modernisme mengusung azas “kehendak bebas” murni. Free will. Manusia, seolah diberikan “kehendak bebas” untuk mengatur dunia ini. Lewat ajaran filsafat, dilegitimasi seolah Tuhan telah memberikan ‘kuasaNya’ lewat akal manusia. Jadi, manusia berhak mengatur segalanya.

Ini yang diambil Machiavelli, Montesquei, Bodin sampai Rosseou. Mereka mendefenisikan “free will” ini dalam urusan kekuasaan. Jadi seolah manusia berhak menentukan siapa yang jadi pemimpin. Tak perlu patuh lagi pada “Vox Rei Vox Dei” (Suara Raja Suara Tuhan). Alhasil teori filosof materialism mengatakan: vox populi vox Dei. Suara manusia, itulah suara Tuhan. Manusia yang menentukan pilihannya, tanpa perlu lagi landasan kitab suci.

John Austin sampai Auguste Comte mendefenisikan free will itu dengan positivism. Manusia seolah berhak membuat hukum sendiri. Tanpa landasan Wahyu. Kehendak bebas itu diterjemahkan sebagai ‘constitutio’. Buah dari ‘kehendak rakyat’, berlandas teori (pemikiran) Rosseau. Sampai urusan perdagangan, manusia pun berhak mengaturnya. Teori Keynes sampai Adam Smith meligitimasi “free will” tadi. Manusia yang kuat, dialah yang menang. Modernisme, melegitimasi lahirnya merkantilisme hingga menjadi kapitalisme. Inilah buah dari sekulerisme.

Karena filosof dahriyyun itu meletakkan “kebenaran Wahyu” sebagai hanya urusan ritual belaka. Kebenaran “agama” diletakkan hanya urusan ibadah ritual. Urusan kekuasaan, perdagangan, hukum, sosial, itu berlandas pada ‘Free will”. Manusia yang menentukan. Karena “free will” itu dianggap sebagai sumber “kebenaran.”

Eksekusi ‘free will’ itu berlangsung masa Revolusi Perancis, 1789. Inilah ajang eliminasi ‘Kebenaran Tuhan.’ Kaum penganut ‘freedom’ seolah merasa merdeka kala mencampakkan ‘Kebenaran Wahyu.’ Mereka merasa bebas, kala leluasa mematuhi ‘rasio’ dan ‘empirisme’ sebagai landasan. Inilah awal modernisme menggeliat dalam sebuah system. Karena sejak itu manusia tunduk pada sebuah system rule. Bukan lagi ‘personal rule.’

Ini yang diteriakkan Robiespierre kala memimpin revolusi. Ketika mereka menggantung King Louis XVI di depan penjara Bastille, seolah itulah kemenangan ‘free will’. Ini pula yang ditiru Kemal Attaturk kala berhasil mengkudeta Sultan Abdul Hami II, pemimpin Utsmaniyya terakhir. Kemal lantang, bak Robiespierre berkata, “Perbuatan siapa sekarang yang berkuasa, Saya atau Tuhan?” Itu seolah mengatakan bahwa “being” adalah memang sepenuhnya “perbuatan manusia.” Tak ada yang disebut “perbuatan Tuhan.” Itulah wajah asli modernisme.

Karena memang selepas periode Cartesius dan Kant, mencuat penyihir lain bak Karl Marx, Einstein sampai Sigmund Freud. Marx menyebutkan bahwa “segala sesuatunya adalah materi.” Karena tak dianggap suatu ‘kebenaran’ yang bersumber dari bathini. Freud, menyerang aqidah Kristiani. “Tak ada roh adikudrati. Yang ada adalah dorongan alam bawah sadar manusia,” katanya. Sampai Einstein merasa teorinya “melempar bola” itu bukti adalah “dia yang melempar.” Bukan dianggapnya sebagai “perbuatan Tuhan.”

Inilah yang menjadikan aqidah modernisme sebagai tunggal. ‘Kebenaran’ adalah sepenuhnya “perbuatan manusia.” Bukan ‘Perbuatan Tuhan.’ Lantas apa hasilnya? Lihatlah kini. Tengoklah buah kinerja teori-teori itu. Nietszche menyebutnya sebagai nihilism. Karena sekulerisme yang melahirkan modernisme ini, ujungnya hanyalah nihilisme. Tak lebih. Martin Heidegger telah memvonisnya, ‘filsafat itu tak berpikir, tapi seolah-olah berpikir,” katanya dalah “Being and Time.” Karena dampak dari “segala sesuatunya adalah perbuatan manusia,” ujungnya adalah perbudakan modern. Manusia tak dirantai, tak dibelenggu apalagi digari. Tapi muncul sekelompok orang memanfaatkan “free will” tadi memperbudak system. Mereka yang meraih kemenangan. Robiespierre menyadari itu. Tapi dia terlambat. Karena keburu dikudeta oleh Napoleon. Dan Napoleon pun menyadarinya. Sebelum dia dibuang ke Pulai Elba. Mati disana. Napoleon tak merasakan “kehendak bebas.” Melainkan diperalat sebagai budak system. Sebagai kaum pekerja.

Jadi, dari Robiespierre, Napoleon sampai Kemal, mereka hanyalah kelas “pekerja”. Padahal mereka mengabdi terang pada sekulerisme. Ujungnya hanya berada di kematian tanpa ‘kemerdekaan.’ Attaturk paling hina. Jenazahnya ditolak bumi. Sampai kini. Karena ujung dari modernisme ini, kaum bankir yang meraja. Mereka berhasil memanfaatkan “free will” untuk bekerja kepada mereka. Inilah wajah kapitalisme. Hanya segelintir yang mendapat kemenangan. Disinilah bentuk kebathilan itu.

Makanya menganggap segala sesuatunya “perbuatan manusia” itu sejatinya kesalahan berpikir. Karena dari cogito ergo sum sampai “ration scripta” ala Kant, itu hanya teori menyesatkan. Karena manusia sejatinya hanya dibekali ‘kasab.’ Usaha. Bukan penentu segalanya.

Dengan “cogito ergo sum”, manusia seolah memiliki kekuasaan atas alam dunia. Berhak menteorikan alam semesta, Tuhan, dan bahkan menteorikan manusia. Berhak mengatur dunia. Karena Tuhan diteorikan sebagai pembuat jam. Kala jam selesai dibuat, jam berjalan sendirinya. Jadi hasil kreasi rasio manusia, tentang sesuatu, itu dianggap sebagai “kebenaran.” Socrates, seperti kata Plato, menyebutnya bahwa seolah itulah “moralitas.” Ujungnya, ‘kebenaran’ agama pun, harus diletakkan di bawah ‘kebenaran’ akal. Disinilah problematika modernitas.

Dari moralitas –hasil kreasi akal–, maka melahirkan modernitas. Wujud modernitas ini tak lebih dari nihilism. Hilangnya nilai-nilai. Karena manusia meletakkan “rasio” sebagai pondasi utama “kebenaran.”

Inilah yang sejak dulu diwanti Imam Ghazali. Dalam ‘Tahafut al Falasifah’ beliau mengingatkan, “segala sesuatunya adalah perbuatan Tuhan, bukan “perbuatan manusia.” Imam Ghazali mengingatkan tentang uap, yang lahir dari pertemuan antara api dan air. Modernisme menanggap, uap itu sebagai hasil sains. Seolah itulah hasil “rasionalitas’. Maka, dianggap “perbuatan manusia.” Padahal bukan. Uap, juga dianggap ‘perbuatan Tuhan.” Karena Tuhan menciptakan air dan sifat-sifat air. Menciptakan api, berikut dengan sifatnya. Jadi antara zat air dan wujud air, itu merupakan ciptaan Tuhan. Jadi tatkala zat air dan zat api berjumpa, maka jadilah uap. Itu merupakan “Perbuatan Tuhan.” Dari situ, tak ada yang disebut “free will.”

Manusia, katanya, akan menemukan “kemerdekaan” bukan dengan mengolah akal dan menjadi kehendak bebas. Melainkan sepenuhnya memahami Bagaimana hakekatnya menjadi hamba Tuhan. Ini kontrak antara Sang Pencipta dan ciptaan. Allastu bi Rabbikum. Kontrak itu pertanda manusia harus memahami siapa yang “membuat.”

Ibnu Arabi berkata, “Mudah untuk memahami Allah, yang sulit adalah memahami ciptaan.” Karena manusia sering terjebak, menjadikan ciptaan (makhluk) itu sebagai ‘tuhan.’ Ini yang terjadi pada Descartes sampai Kant. Mereka merasa sebagai level “mencipta” sehingga yakin bahwa “segala sesuatu adalah perbuatan manusia.” Ujungnya, manusia menganggap hasil pertemuan dua dzat, itu dianggap sebagai “penemuan” manusia. Einstein menganggapnya, dia yang melempar. Disinilah jebakan tentang “ciptaan.” Karena modernisme menjadikan “ciptaan” itu sebagai ‘tuhan baru.’ Yang berujung pada menduakan Tuhan.

Ian Dallas (Shaykh Abdalqadir as sufi, Rahimullah), berkata, manusia modern jika ditanya: “Siapa yang menerbangkan burung?, maka dijawab: “Tuhan.” Tapi jika ditanya, “siapa yang menerbangkan pesawat?” maka dijawab: “manusia.” Disinilah seolah di udara ada dua kehendak: Tuhan dan manusia. Ini yang disebut “menduakan Tuhan.” Karena seolah manusia memiliki “kehendak/perbuatan.” Tentu inilah hasil didikan dari sekulerisme itu.

Inilah problematika sekulerisme. Karena manusia berpikir seolah memiliki ‘kehendak bebas.’ Padahal Qudrah dan Iradah sepenuhnya adalah domain Tuhan. Tak ada perbedaan antara ‘perbuatan Tuhan’ dan ‘perbuatan manusia.’ Karena manusia hanya terbatas memiliki ‘kasab.’ Bukan ‘kehendak bebas.’ Sebagaimana Firman Allah Subhanahuwataala menyatakan:

“وَٱللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

“Allah yang menciptakan dirimu dan apa yang kamu perbuat.”

 

*Penulis adalah Mudhir Idaroh Wustho JATMAN (Jamiyya Ahlith Thariqah al Mu’tabarah An Nadliyyah) DK JAKARTA periode 2024-2029. 

 

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain