Ilustrasi Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda./antara

Bengkulu, aktual.com – Kepala Pusat Penelitian Laut Dalam Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto, menyebutkan, gelembung udara berukuran cukup besar menyembur sampai permukaan air di Selat Sunda tak jauh dari sisi timur di bibir Pantai Gunung Anak Krakatau, Provinsi Lampung, sudah terjadi sejak lama.

Ia mengatakan, gelembung udara itu merupakan akibat aktifitas hidrotermal bawah laut di lokasi tersebut.

Proses hidrotermal di laut ini sendiri adalah interaksi antara air laut dan magma di bawah dasar laut.

“Magma tersebut memang ada di bawah Gunung Anak Krakatau. Dapur magma ini yang menyebabkan aktivitas gunung berapi anak Krakatau. Nah, boleh jadi aktivitas hidrotermal ini terjadi akibat adanya interaksi air laut dengan dapur-dapur magma di sekeliling sumber utamanya. Jadi aktivitas magma ini sudah ada sejak dulu bukan berarti baru terjadi kemarin,” ujar Nugroho saat dihubungi via pesan singkat, Sabtu (4/4/2020).

Lebih lanjut ia menjelaskan, aktivitas hidrotermal ini bisa menjadi sumber kehidupan dan ekosistem bawah laut yang sangat spesifik dan penting karena bisa terjadi dalam kedalaman yang sangat dalam (>200 m), sehingga keanekaragaman hayatinya sangat spesifik (bayangkan ada hewan yg dapat hidup pada kedalaman beberapa meter di bawah laut dengan lingkungan yang ekstrim). “Selain itu, secara geologi, aktivitas hidrotermal dasar laut dapat mengendapkan mineral-mineral berharga seperti emas dan lain-lain,” sebutnya.

Kepala Bidang Mitigasi PVMBG Wilayah Timur, Devy Kamil Syahbana menjelaskan, fenomena gelembung di Gunung Anak Krakatau ini menunjukkan adanya aktivitas active degassing atau dalam bahasa Indonesia itu embusan gas vulkanik yang keluar lewat celah-celah yang ada di bagian tubuh Gunung Anak Krakatau yang ada di bawah permukaan laut.

Fenomena active degassing ini biasa teramati di gunung api aktif, biasanya keluar di kawah atau di bagian tubuh gunung api dan keluar kadang dengan suara kadang tidak bersuara, kadang berwarna putih kadang tidak berwarna.

Untuk kondisi di Gunung Anak Krakatau, karena hembusan gas ini terjadi di bawah permukaan laut, manifestasi yang teramati dipermukaan adalah gelembung gas. “Dulu, tahun 2008 saya pernah melakukan penelitian ke Gunung Anak Krakatau dan melakukan pemetaan gelembung gas vulkanik (bubble) dengan peralatan echosounder di sekeliling Gunung Anak Krakatau.

Saat itu sudah teramati adanya gelembung gas (bubble) seperti yang terjadi sekarang. Jadi, kalau sekarang hal ini teramati lagi, maka sebetulnya fenomena ini bukanlah hal yang baru. Fenomena ini wajar terjadi karena sebuah gunung api yang aktif biasa mengeluarkan gas vulkanik,” jelasnya. Ia menegaskan, fenomena munculnya gelembung besar tersebut tidak langsung menyimpulkan adanya peningkatan aktivitas Gunung Anak Krakatau.

“Saat ini energi seismik yang terekam oleh stasiun pemantauan yang ada di Pulau Gunung Anak Krakatau belum menunjukkan adanya peningkatan aktifitas,” demikian Devy.

Sebelumnya diberitakan, Gelembung udara berukuran cukup besar menyembur sampai permukaan air di Selat Sunda tak jauh dari sisi timur di bibir Pantai Gunung Anak Krakatau, Provinsi Lampung. Gelembung tersebut ditemukan tim Seksi Konservasi Wilayah III Lampung, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA).

Akun resmi instagram milik Seksi Konservasi Wilayah III Lampung, Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), @skw3lampung_bksda, mengunggah video gelembung air tersebut sekitar pukul 23.00 WIB, Kamis (2/4/2020) dengan disertai tulisan, “Gelembung udara yang cukup besar hingga terlihat menyembur sampai ke permukaan air dijumpai pleh tim pengaman kawasan di bagian sisi timur tak jau dari pantaiGunung Anak Krakatau. Tidak diketahui penyebabnya namun hal ini kemungkinan diperkirakan adanya aktifitas vulkanik di dasar laut berupa gas yang keluar dari tubuh gunugn tersebut. Gelembung ini dijumpai saat tim pengamanan tengah berpatroli laut mengelilingi kawasan Cagar Alam dan Cagar Alam Laut Kepulauan Krakatau. Dilarang masuk kawasan tanpa surat ijin masuk (SIMAKSI) dari BKSDA Bengkulu-Lampung”. [Kompas.com]

Artikel ini ditulis oleh:

Eko Priyanto