Precursor letusan 2018 diawali dengan munculnya gempa tremor dan penigkatan jumlah gempa hembusan dan low frekuensi pada tanggal 18-19 Juni. Jumlah gempa hembusan terus meningkat dan akhirnya pada tanggal 29 Juni 2018 Gunung Anak Krakatau meletus.
Lontaran material letusan sebagian besar jatuh di sekitar tubuh Gunung Anak Krakatau atau kurang dari 1 km dari kawah, tetapi sejak tanggal 23 Juli teramati lontaran material pijar yang jatuh di sekitar pantai, sehingga radius bahaya Gunung Anak Krakatau diperluas dari 1 km menjadi 2 km dari kawah.
Pertanyaannya apakah tsunami tersebut ada kaitannya dengan aktivitas letusan? Hal ini masih didalami, karena ada beberapa alasan untuk bisa menimbulkan tsunami yang sudah terjadi. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi memberikan analisis kaitan tersebut. Pertama, saat rekaman getaran tremor tertinggi yang selama ini terjadi sejak bulan Juni 2018, sama sekali tidak menimbulkan gelombang terhadap air laut, bahkan hingga tsunami, jika dilihat dari getaran gunung.
Kedua, material lontaran saat letusan yang jatuh di sekitar tubuh gunungapi masih bersifat lepas dan sudah turun saat letusan ketika itu. Ketiga, untuk menimbulkan tsunami sebesar itu perlu ada runtuhan yg cukup masif (besar) yang masuk ke dalam kolom air laut.
Keempat, untuk merontokkan bagian tubuh yang longsor ke bagian laut diperlukan energi yang cukup besar, dan ini tidak terdeksi oleh seismograph di pos pengamatan gunungapi. Masih perlu data-data untuk dikorelasikan antara letusan gunungapi dengan tsunami.
Artikel ini ditulis oleh: