Jakarta, Aktual.co — Berita mengenai kekerasan pada anak yang dilakukan dengan anak seusianya pun belum hilang terdengar dari telinga kita. Namun sudah kembali lagi kemunculan berita pernikahan anak dibawah umur.
Ayu, anak berumur 16 tahun ini didesak oleh orangtuanya dengan lelaki yang umurnya 3 kali lipat darinya dan bekerja di kota, sementara ia tinggal di rumah. Seperti anak pada umumnya, Ayu sangat ingin melanjutkan sekolah, namun banyak temannya yang membicarakan bahwa yang sudah menikah tidak lagi pantas untuk bersekolah, apalagi setelah Ayu mengandung, ia pun meninggalkan sekolah.
Suami Ayu sudah lama tidak mengirimkan uang untuk hidup Ayu dan anak yang dikandungnya. Ayu pun semakin bingung harus berbuat apa ketika sang suami pulang ke rumah dengan tujuan meminta izin menikahi perempuan lain. 
Yang dialami Ayu bukanlah hanya Ayu sendiri,  Di Kolaka, Sulawesi Tenggara ada Fitri (17), gadis yang duduk di bangku kelas dua SMAN 1 Latambaga ini meninggal setelah sebelumnya dilarikan ke rumah sakit akibat meneguk racun rumput. 
Ibunya menemukannya di dalam kamar setelah mendengar suara seorang yang sedang muntah-muntah sekitar pukul 17.30 Wita. Fitri nekat meneguk racun lantaran kaget dengan kemauan ibunya yang akan menjodohkan dirinya. Jadi setelah ibunya pulang dari kampung halamannya di Kabupaten Bantaeng, ibunya menyampaikan kepada korban untuk berhenti sekolah dan rencananya akan dijodohkan dengan kerabat dekat ibunya. Korban menolak tawaran tersebut, namun ibunya tetap bersikukuh untuk menjodohkan dengan lelaki pilihannya.
Sadarkah kita mereka adalah dua korban dari ribuan kasus nyata? 
Masalahnya, di Indonesia, anak perempuan boleh menikah pada usia 16 tahun, sementara anak laki-laki 19 tahun. Analisis Data Sekunder Sensus 2010 dan Susenas 2012, UNICEF Indonesia menyatakan bahwa Satu dari empat anak perempuan di Indonesia 25 persen menikah sebelum menginjak usia 18 tahun. Padahal, anak perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun memiliki resiko tinggi untuk tidak melanjutkan sekolah, menjadi ibu pada usia di mana tingkat kesiapan baik fisik maupun mental masih rendah sehingga berdampak pada resiko kematian ibu dan bayi, serta rentan terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan penyakit-penyakit yang menyerang kesehatan seksual dan reproduksinya. Anak perempuan berusia 10 hingga 14 tahun lima kali lebih beresiko meninggal pada saat hamil dan melahirkan dibandingkan dengan perempuan berusia 20 sampai 24 tahun (Laporan UNICEF, 2012).
Tidak hanya itu, pernikahan anak dibawah umur juga merupakan pelanggaran terhadap hak dasar dan memiliki akibat yang lebih luas. Tidak hanya mengakibatkan penderitaan fisik dan emosional, Pernikahan Anak juga merampas hak atas pendidikan, dan berkontribusi terhadap rantai kemiskinan yang dilanjutkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. 
Tanpa pendidikan yang cukup, tanpa posisi tawar yang layak, dan dengan kerentanan yang tinggi terhadap masalah kesehatan dan kekerasan, dua generasi bangsa Indonesia dirugikan sekaligus. Harga yang harus dibayarkan untuk kerugian akibat pernikahan anak, dan itu terlalu mahal bagi bangsa ini.
Seharusnya pernikahan adalah momen kehidupan yang dinantikan berunjung indah bukan unsur paksaan berujung penderitaan bahkan kematian. Kita berikan apa yang menjadi hak anak untuk belajar, memperoleh pendidikan, hak atas tubuh mereka dan hak untuk hidup sebagai anak, sebagai remaja, generasi bangsa. Dikutip dari change, Jumat (17/10).