Dalam kunjungannya ke Zawiyah Arraudhah Jakarta, Senin (1/5). Syekh Mun'im juga menerangkan sebuah hal yang biasa dilakukan dalam majelis-majelis tasawuf, yaitu dzikir dan mudzakarah. Mudzakarah sendiri biasanya diawali dengan mengkaji sejarah kehidupan para ulama-ulama Saleh, seperti yang tercatat dalam banyak kitab-kitab mereka. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Menurut Syekh Ibnu Atha’illah, dzikir lisan adalah dzikir dengan kata-kata semata, tanpa kehadiran kalbu (hudhur).

Dzikir ini adalah dzikir lahiriah yang memiliki keutamaan besar seperti yang ditunjukkan oleh beberapa ayat Al-Quran, hadis, dan atsar.

Dzikir lisan terbagi dalam beberapa bagian. Ada yang terikat dengan waktu dan tempat, serta ada pula yang bebas (tidak ditentukan tempat dan waktunya).

Dzikir yang terikat, misalnya bacaan ketika shalat dan setelah shalat, bacaan ketika haji, sebelum tidur, setelah bangun, sebelum makan, ketika menaiki kendaraan, dzikir di waktu pagi dan petang, dan seterusnya.

Sementara yang tidak terikat dengan waktu, tempat, ataupun kondisi, misalnya pujian kepada Allah seperti dalam untaian kalimat, “Subhana Allah wa al-hamdu li Allah wa la ilaha illa Allah wa Allah akbar wa la hawla wa la quwwata illa bi Allah al-‘aly al-‘azhim (Mahasuci Allah, segala puji bagi-Nya, tiada tuhan selain-Nya, dan Allah Mahabesar, tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah Yang Mahatinggi dan Mahabesar).”

Contoh lainnya adalah dzikir berupa doa seperti, “Rabbana la tu’akhidzna in nasina aw akhtha’na…,” atau munajat lainnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid