Lalu mengapa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa pekan terakhir “ngambek” dan bersikeras menolak pengaturan korupsi ke dalam KUHP? Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyatakan KPK tidakada masalah dengan niat kodifikasi (penyusunan kitab perundang-undangan) asalkan khusus tindak pidana korupsi (tipikor) berada di luar KUHP.

Laode beralasan bila tipikor masuk dalam KUHP yaitu ke bagian ketiga Bab XXXVIII mengenai tindak pidana korupsi pasal 687-696 maka kewenangan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang utamanya bertugas melakukan penindakan terhadap kejahatan korupsi menjadi dipertanyakan.

“UU KPK menentukan bahwa mandat KPK adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur dalam UU No 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tipikor dan pasal 1 angka 1 UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Kalau tipikor masuk ke KUHP apakah pasal tersebut masih berlaku? Apa KPK masih bisa menyelidik, menyidik dan menuntut kasus korupsi karena di RUU KUHP tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK?” kata Laode.

Rincian pasal Laode mengungkapkan ada sejumlah pasal dalam UU Pemberantasan Tipikor yang dimasukkan dalam KUHP, tapi dengan sejumlah perbedaan yang menguntungkan pihak yang diduga melanggar KUHP tersebut misalnya dalam RKUHP mengatur pengurangan ancaman pidana sebesar 1/3 terhadap percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat tindak pidana korupsi; tidak adanya pengaturan hukuman mati untuk terpidana korupsi; penurunan ancaman pidana denda terhadap pelaku korupsi; serta tidak diaturnya pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti dalam RKUHP.

Perbandingan pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut: Pasal 2 UU Pemberantasan Tipikor vs pasal 687 RKUHP mengatur perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara.