Bertolak dari pertimbangan tersebut maka kepada KPK dalam UU KPK 2002 diberi mandat untuk melaksanakan fungsi yakni trigger mechanism disertai dengan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kinerja kepolisian dan kejaksaan. Dengan cara tersebut, kata dia maka KPK ditempatkan sebagai titik sentral sekaligus pengendali dan koordinator pemberantasan korupsi.

Namun demikian, dalam praktik pemberantasan korupsi, kata dia, KPK tidak dapat melaksanakan secara efektif fungsi-fungsi tersebut dan yang terjadi adalah KPK hanya fokus pada penindakan-represif dengan mengandalkan laporan masyarakat dan wewenang penyadapan sebagaimana telah diatur dalam UU KPK.

“Posisi UU KPK merupakan lex specialis baik dalam kedudukan maupun dalam hukum acara pemberantasan korupsi dengan maksud KPK dapat mempercepat peningkatan efektivitas kepolisian dan kejaksaan dalam pemberantasan korupsi.”

Namun demikian dalam kenyataannya, KPK telah tidak efektif melaksanakan fungsi sebagai counter-partner kepolisian dan kejaksaan. Bahkan sebaliknya telah menempatkan KPK sebagai competitor kepolisian dan kejaksaan, sehingga sering terjadi KPK menangani kasus korupsi jauh di bawah 1 miliar sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 11 huruf c UU KPK dengan alasan, karena terkait penyelenggara negara dan pegawai negeri. Sedangkan maksud pembentUkan UU selain KPK berfungsi sebagai koordinator dan supervisor juga KPK berfungsi sebagai trigger mechanism yaitu berkoordinasi dengan kepolisian atau kejaksaan untuk menangani kasus korupsi dengan nilai di bawah Rp 1 miliar.

“Pengamatan dan pengalaman saya menilik kinerja KPK telah terdapat beberapa penyimpangan dari asas-asas hukum pidana yang diakui universal dan prinsip-prinsip yang telah ditegaskan di dalam Pasal 5 UU KPK: a.kepastian hukum, b. keterbukaan, c. akuntabilitas, d. kepentingan umum dan e. proporsionalitas.”

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu