KPU, sebagai lembaga independen penyelenggara pemilu, harus dapat menggunakan diskresinya untuk mengganti calon-calon bermasalah tersebut, sehingga masyarakat disuguhi calon kepala daerah yang berintegritas.
Kalau ada fakta hukum, terlibat OTT (operasi tangkap tangan), menjadi tersangka, ditahan, apalagi diduga kuat terlibat korupsi, maka harus diganti. Kebijakan yang saat ini justru membuat ruang bagi calon-calon kepala daerah yang tidak berintegritas dapat terpilih menjadi gubernur, bupati dan wali kota, kata Hadar.
Tidak Etis Sementara itu dari sisi etika politik, dengan membiarkan calon tersangka terus melaju dalam pemilihan kepala daerah akan menimbulkan polemik baru, yakni tentang kepantasan calon tersebut dalam pemilihan umum.
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan calon kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, apalagi tindak pidana korupsi, menjadi catatan buruk dalam proses demokrasi di Tanah Air.
Membiarkan tersangka kasus korupsi tetap menjadi calon kepala daerah tentu tidak baik untuk demokrasi kita. Calon pemimpin kok bermasalah hukum. Jadi memang seharusnya, pemimpin itu harus yang tidak terkena masalah hukum, kata mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri itu.
Regulasi di Indonesia memang tidak mendukung terhadap pemenuhan kebutuhan calon pemimpin bersih, khususnya dalam pelaksanaan pemilihan umum.
Selama ini, aturan pemberhentian atau pengaturan tersebut hanya berlaku bagi kepala daerah yang secara sah dinyatakan memenangi pilkada.
Memang dari segi aturan main, regulasi di kita cukup rumit. Kalau kepala daerah terdakwa, di UU mengatakan maka dia harus diberhentikan sementara. Tapi kalau sebagai calon (kepala daerah), itu tidak ada aturannya, kata Djohermansyah.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby