Jakarta, Aktual.com — Dengan banyaknya peraturan yang mengikat, menjadi pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia bukanlah perkara mudah.

Pegawai negeri sipil–saat ini dikenal dengan sebutan aparatur sipil negara (ASN)–hanya boleh bertindak untuk satu nama: negara. Oleh karena itu, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak pada tanggal 9 Desember 2015, para pekerja negeri sudah diwanti-wanti untuk menjaga netralitas, terutama di daerah yang kepala daerahnya kembali mencalonkan diri jadi pemimpin atau petahana.

Pemerintah tidak tinggal diam. Pada akhir Juni 2015, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Yuddy Chrisnandi mengatakan bahwa dirinya telah mengeluarkan surat edaran terkait dengan netralitas ASN dalam pilkada serentak.

Surat Edaran Menpan_RB Nomor B/2355/M.PANRB/07/2015 tersebut merupakan penegasan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No. 23/2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

Isi dari surat edaran tersebut adalah melarang seluruh pegawai negeri sipil terlibat dalam kegiatan kampanye, baik menjadi anggota maupun terlibat di dalamnya.

“Para ASN tidak diperkenankan menggunakan fasilitas negara untuk berkampanye. Selain itu, juga tidak diperbolehkan mengganggu jalannya kampanye calon pimpinan daerah,” tutur Yuddy.

Oleh karena itu, dia juga mengimbau warga agar tidak mengajak ASN untuk terlibat dalam Pilkada.

Jika ada indikasi keterlibatan, kata dia, oknum itu akan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

“Tentu kami akan memberikan hukuman yang proporsional,” katanya.

Adapun sanksi yang diberikan sesuai dengan UU No. 5/2014 tentang ASN, yaitu PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik akan dijatuhi hukuman berupa diberhentikan dengan tidak hormat.

Kemenpan-RB menyatakan bahwa SE Menpan_RB No. B/2355/M.PANRB/07/2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak tersebut ditujukan kepada para menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, para kepala lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK), para sekjen lembaga negara, para pimpinan kesekretariatan lembaga nonstruktural, para Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Sementara itu, menurut komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Nasrullah, bentuk-bentuk hukuman yang diberikan disesuaikan dengan perundang-undangan yang berlaku. Bisa berupa denda, sanksi administrasi, hingga pidana, sesuai dengan UU No. 8/2015 tentang Perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, selain tentunya UU No. 5/2014 tentang ASN.

Temuan Bawaslu Peraturan sudah ada, mulai dari undang-undang sampai surat edaran. Akan tetapi, seperti yang biasa terjadi di Indonesia, pelanggaran tetap saja ada.

Komisioner Bawaslu Nasrullah mengatakan bahwa pihaknya menemukan belasan kasus dugaan keterlibatan aparatur sipil negara dalam rangkaian pemilihan Kepala Daerah.

“Kami menemukan 11–12 kasus dugaan keterlibatan aktif ASN dalam pilkada. Bukti-bukti sudah ada, baik dalam bentuk gambar maupun ‘compact disc’ (cakram padat, red.),” kata Nasrullah.

Kasus tersebut, kata dia, sedang dalam identifikasi lebih lanjut oleh Bawaslu sebelum diberikan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), lembaga independen pengawas para ASN, agar pihak yang terlibat dapat diberikan sanksi.

Pelanggaran yang dilakukan umumnya terjadi di daerah-daerah petahana. Modus ketidaknetralan ASN tersebut: pertama, melakukan pelanggaran program atau kegiatan milik pemerintah yang difasilitasi oleh pejabat daerah. Ada kesan para ASN “memasang badan” untuk petahana.

Kedua, ASN dilibatkan dalam proses deklarasi pencalonan kembali kepala daerah untuk memimpin, terlibat dalam pendaftaran ke KPU setempat, bahkan ada yang diketahui hadir dalam pertemuan di posko-posko partai politik.

“Selain itu juga ditemukan bukti bahwa selain melibatkan ASN, dalam pendaftaran ke KPU setempat, calon kepala derah petahana juga melibatkan anak sekolah,” ujar dia.

Pelanggaran-pelanggaran itu terjadi di beberapa daerah, seperti Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Nusa Tengggara Barat, dan Yogyakarta.

Pengawasan Berbagai pelanggaran yang terjadi oleh para ASN selama masa Pilkada membuat fungsi pengawasan oleh rakyat dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi penting.

“Masyarakat harus menyadari bahwa di dalam proses demokrasi mereka adalah subjek, yang tidak hanya memberikan suara dalam pilkada, tetapi juga menjaga kualitas prosesnya,” ujar pengamat politik Ubedilah Badrun.

Akademisi dari Universitas Negeri Jakarta itu menganggap pelanggaran PNS dalam pilkada merupakan hal serius. Oleh karena itu, publik harus diberikan ruang terbuka untuk melakukan pengawasan.

“Semua fasilitas bisa dimanfaatkan untuk melakukan hal itu. Bisa melalui alat dokumentasi apa pun dan disebarkan melalui media sosial,” kata Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) ini.

Makin luas media pengawasan, lanjut Ubedilah, pilkada akan makin berkualitas.

Bawaslu, tutur Ubedilah, juga harus tegas dalam melakukan pemantauan terhadap para calon kepala daerah, termasuk petahana. Jika terjadi pelanggaran dan ada bukti yang valid, para pelanggar harus diproses. Dalam hal ini diskualifikasi dari calon kepala daerah menjadi hukuman terberat.

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pun telah membentuk satuan tugas khusus untuk memantau keterlibatan ASN dalam pilkada, melengkapi tugas yang diemban oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).

“Makin banyak yang terlibat dalam pengawasan makin baik. Terkait dengan hal itu, selain dari pemerintah, tentunya kami juga sangat berharap peran aktif dari masyarakat dan juga media massa,” demikian kata Komisioner Bawaslu Nasrullah.

Artikel ini ditulis oleh: